Manusia menurut Pandangan Filosof Yunani
Pandangan para filosof Yunani diambil karena pengaruh dari para filosof tersebut sangat mempengaruhi pendapat para filosof Islam dalam memandang manusia, terutama pendapat dari Aristoteles (An-Najar 2001). Secara global Aristoteles telah mengumpukan beberapa perndapat fillosof Yunani yang terrdahulu tentang jiwa, dengan menerangkan perbedaan antara makhluk hidup dan makhluk yang tidak hidup.
Socrates
Misalnya pendapat Socrates yang dilansir oleh Aristoteles mengatakan bahwa jiwa merupakan wujud ruhani yang lepas, dimana jika wujud ruhani itu diabaikan atau ditinggalkan niscaya akan menimbulkan kebodohan dan akan memproduksi pemikiran yang mandul dan rusak. Manusia dapat menghilangkan kebodohannya apabila berpikir tentang jiwa, mengenali jiwa, menurutnya pengenalan jiwa ini merupakan pengetahuan yang pertama kali harus dilakukan oleh manusia. Socrates juga meyakini kekekalan jiwa dan kefanaan atau kerusakan jasad. Untuk mempertahankan pedapatnya ini Socrates lebih mengutamakan dihukum gantung daripada mengubah pendapatnya.
Plato
Dari pendapat Socrates tentang jiwa ini kemudian disempurnakan oleh Plato. Plato berpendapat bahwa manusia pada dasarnya tidak akan mampu mengenal jiwanya kecuali ia dalam kondisi bebas dari dosa dan segala bentuk kejahatan, dimana perbuatan tersebut disebabkan oleh keterkaitan jiwa dangan jasad. Pato lebih lanjut berpendapat jiwa itu adalah substansi yang indenenden dari anggota tubuh dan hubungan diantara keduanya, yaitu antara jiwa dan jasad bagaikan hubungan antara nahkoda dengan perahu, dimana nahkoda berfungsi sebagai pengatur jalannya perahu, dan menjaganya di tengah-tengah hembusan gelombang.
Plato juga mengatakan bahwa jiwa itu berada diantara dua alam, yaitu alam tinggi (alam ide) dan alam bawah (alam rasa). Menurutnya kedua alam itu pada awalnya adalah menyatu dalam kesatuan, akan tetapi setelah alam ide tersebut jatuh ke tanah, mengakibatkan terpecahnya alam tersebut menjadi beberapa bagian. Sejak itu pula jiwa telah turun ke alam rendah yaitu alam perasaan. Dan di atas alam rendah tersebut jiwa manusia selalu berusaha untuk menyucikan dirinya. Sampai mampu kembali ke alam awalnya, yaitu alam tinggi (alam ide). Cara yang harus ditempuh untuk kembali ke alam ide dengan melepaskan diri dari keterikatan jasad dan mengenali jiwa tersebut.
Plato meyakini tentang kekekalan jiwa dengan bukti tentang adanya gerak dan kehidupan yang menjadi dasar dari tabiat dan jiwa seseorang. Gerak dan kehidupan merupakan substansi yang khusus bagi jiwa dan di saat gerak dan jiwa ini berada dalam jasad maka bermakna: bahwa jasad itu hidup dan pada saat itu jiwa menjadi sumber gerak jasad manusia. Sesungguhnya gerak dari jasad itu bukanlah gerak yang asli, karena fungsi jasad hanya sebagai signal dari gerak jiwa. Sebaliknya jika jiwa itu menginggalkan jasad maka berarti kerusakan jasad terjadi dan sekaligus merupakan perpisahan dengan jasad, dan jiwa menjadi kembali ke alam ide.
Aristoteles
Aristoteles memberikan definisi jiwa sebagai berikut: jiwa merupakan kesempurnaan awal terhadap jasmani alami menuju suatu kehidupan yang memiliki kekuatan. Definisi didasarkan atas teorinya tentang alam, dimana Aristoteles membedakan antara materi sesuatu dengan bentuknya, serta berdasarkan persepsinya tentang alam dan geraknya. Aristoteles menyebutkan bahwa kata psyche yang sering diterjemahkan dengan jiwa pada dasarnya memiliki makna yang sangat luas. Tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa, hewan demikian juga sebab benda-benda tersebut merupakan benda hidup. Tumbuh-tumbuhan tidak memiliki kekuatan kecuali kekuatan untuk makan dan keturunan. Binatang disamping memiliki kekuatan di atas juga memiliki kekuatan pengenalan, syahwat dan gerak. Sedangkan manusia disamping memiliki kekuatan di atas juga memiliki kekuatan untuk berpikir.
Manusia yang telah mati tidak memiliki jiwa, bukan merupakan manusia dalam arti yang sempurna, maka dari itu yang dinamakan manusia adalah yang memiliki jiwa sebagai makhluk hidup. Adapun hubungan antara jasmani dengan jiwa merupakan hubungan antara benda dengan bentuk, atau hubungan antara prime matter dengan form. Jiwa adalah bentuk dari badan, sebagaimana penglihatan bentuk dari mata. Apabila penglihatan putus dari mata, maka mata tidak disebut dengan mata yang berfungsi untuk melihat, kecuali hanya sebuah nama saja. Atau bukan mata yang hakiki seperti mata pada sebuah patung.
Jiwa sebagai kekuatan hidup tidak mungkin terdapat di dalam badan apapun dan tidak terdapat di dalam setiap badan. Karena sebuah form atau bentuk menghendaki adanya sebuah benda yang sesuai dengan form tersebut. Badan tidak akan mampu untuk mendapatkan kehidupan, kecuali badan yang memiliki anggota yang cocok. Dan badan seperti ini harus memiliki kekuatan, baik itu yang terdapat pada hewan ataupun tumbuhan hidup. Sedangkan jiwa terkait dengan perbuatan badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar