Jumat, 28 Oktober 2011

By : Adi W. Gunawan
Salah satu peserta Indonesia Hypnosis Summit (IHS) 2010 mengirimi saya email dan bertanya, “….saat Bapak menjelaskan mengenai induksi, Bapak tidak bicara tentang uji sugestibilitas. Kita tahu bahwa sangat penting untuk bisa mengetahui tipe sugestibilitas klien agar dapat melakukan teknik induksi yang sesuai sehingga dapat membawa klien masuk ke kondisi deep trance sebelum melakukan terapi. Kemarin itu apakah memang tidak sempat dijelaskan ataukah Pak Adi merasa uji sugestibilitas tidak penting?”
Wah, peserta ini cukup jeli. Saya memang tidak menjelaskan mengenai uji sugestibilitas. Saya menjelaskan enam teknik dasar induksi dan pengelompokkan teknik induksi. Enam teknik dasar induksi adalah Eye Fixation, Relaxation of Nervous System, Mental Confusion, Mental Misdirection, Loss of Equilibrium, dan Shock to Nervous System.
Dari enam teknik dasar ini dikembangkan menjadi sangat banyak teknik induksi.
Walaupun saat ini ada begitu banyak teknik induksi namun bila dicermati dengan sungguh-sungguh maka teknik induksi yang ada dapat dikategorikan menjadi empat kelompok: Progressive Relaxation (yang biasanya membutuhkan waktu 30 – 45 menit), Rapid Induction ( sekitar 4 menit), Instant Indcution (beberapa detik), dan Emotionally Induced Induction (induksi karena emosi yang dialami klien).
Nah, kembali ke pertanyaan yang menjadi judul artikel ini, “Uji Sugestibilitas : Perlukah?”
Jawabannya bergantung kebutuhan. Bila untuk melakukan stage hypnosis maka uji sugestibilitas harus dilakukan untuk bisa memilih atau menemukan subjek hipnosis yang mudah. Bisa anda bayangkan apa yang terjadi jika stage hypnotist tidak melakukan uji sugestibilitas dan langsung memilih subjek dari penonton. Akibatnya akan fatal karena subjek tidak akan bisa dihipnosis dengan cepat dan tidak akan ada pertunjukkan yang menarik.
Bagaimana dengan hipnoterapi? Apa perlu uji sugestibilitas?
Di tahun-tahun awal saya sebagai hipnoterapis saya memang sangat menekankan pentingnya uji sugestibilitas. Hal ini bertujuan agar saya dapat melakukan induksi dengan tepat sehingga klien bisa masuk ke kondisi deep trance.
Bila mengacu pada SHSS (Stanford Hypnotic Suceptibility Scale) yang dikembangkan oleh Ernest Hilgard maka manusia terbagi menjadi 85% yang moderat, 10% mudah, dan 5% sulit dihipnosis. SHSS ini banyak digunakan sebagai acuan oleh hipnoterapis hingga saat ini.
Dr. Kappas mengembangkan teori sugestibilitas yang menyatakan bahwa manusia terbagai menjadi dua kategori besar yaitu physical suggestibility (sugestibilitas yang bersifat fisik) dan emotional suggestibility (sugestibilitas yang bersifat emosi). Dari penelitian ditemukan bahwa 60% populasi bersifat emotionally suggestible dan 40% physically suggestible. Kelompok emotionally suggestible mempunyai sub kategori yang dinamakan intellectual suggestibility yang mewakili sekitar 5% populasi.
Pakar lain, Herbert Spiegel, mengembangkan teknik uji sugestibilitas, dengan menggunakan gerakan bola mata dan empat indikator lainnya, yang dikenal dengan Hypnotic Induction Profile (HIP). Selanjutnya Spiegel juga mengembangkan Spectrum of Hypnotizability and Personality Style dan mengelompokkan subjek ke dalam tipe Apollonian, Odyssean, dan Dionysian.
Ada pengalaman menarik saat seorang rekan menceritakan pengalamannya saat diinduksi oleh seorang hipnoterapis. Rekan ini, di depan kelas pelatihan, diinduksi berkali-kali dengan menggunakan bermacam teknik, tetap tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis. Akhirnya hipnoterapis ini berkata, “Anda tidak bisa trance karena anda masuk kategori orang yang tidak bisa dihiposis.”
Saat mendengar cerita ini ada dua hal yang muncul di pikiran saya. Pertama, hipnoterapis ini mengacu pada HIP Spiegel, Regular Zero Profile, yang menyatakan bahwa orang dalam kategori ini tidak bisa dihiposis. Kedua, hipnoterapis ini mungkin gemas pada rekan saya ini karena telah dicoba dihipnosis berulang kali tapi tetap tidak berhasil sehingga untuk mudahnya ia mengatakan bahwa rekan saya ini masuk kategori orang yang tidak bisa dihipnosis.
Benarkah ada kategori orang yang tidak bisa dihipnosis?
Jawabannya bergantung pada teori apa atau pendapat pakar mana yang kita gunakan sebagai acuan. Di sini tidak ada jawaban benar atau salah. Yang ada adalah untuk setiap teori atau pendapat pakar mempunyai konsekuensi yang spesifik terhadap hasil induksi yang kita lakukan.
Dulu waktu saya pertama kali mendalami hipnoterapi saya sempat bingung saat membaca riset para pakar mengenai tipe sugestibilitas dan apa yang harus dilakukan untuk bisa melakukan induksi dengan benar yang bisa membawa klien masuk ke kondisi deep trance.
Di awal karir saya sebagai hipnoterapis saya sangat memperhatikan uji sugestibilitas. Biasanya sebelum menghipnosis klien saya akan meminta klien melakukan The Hand Drop Test, Arm Rising and Falling Test, Postural Sway, dan kadang bisa ditambah dengan The Pendulum Swing Test.
Dari pengalaman saya menemukan bahwa uji sugestibilitas di atas sebenarnya adalah untuk menemukan klien yang masuk kategori Physically Suggestible. Kalau klien sulit menjalankan tes, misalnya Arm Rising and Falling Test, maka saya tahu klien ini masuk kategori emotionally suggestible atau mungkin yang tipe intellectual.
Untuk klien yang “sulit” maka saya perlu menggunakan teknik induksi yang sesuai. Misalnya dengan teknik 7 plus minus 2, auto dual method, teknik hand rolling, dan teknk yang bersifat membingungkan pikiran.
Namun jujur saya merasa tidak nyaman dengan hal ini. Setiap kali mau melakukan terapi saya harus melakukan uji sugestibilitas. Dan yang membuat hal ini menjadi semakin sulit bagi saya adalah ada banyak klien yang telah ke hipnoterapis lain yang juga melakukan hal ini, uji sugestibilitas. Nah, klien datang ke saya karena merasa belum mengalami perubahan signifikan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila saya melakukan, di awal sesi terapi, hal yang sama yang dilakukan terapis sebelumnya. Seringkali sejak awal terapi klien sudah menolak. Mereka berpikir, “Lho, ini kan yang dilakukan terapis sebelumnya. Saya tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Cara ini nggak mungkin berhasil.”
Berangkat dari pengalaman ini saya selanjutnya berpikir, “Apakah ada teknik induksi yang sederhana, yang bisa dilakukan pada semua klien tanpa perlu tahu tipe sugestibilitasnya? Apakah ada teknik yang sederhana, mudah dipelajari, mudah diaplikasikan, mudah diduplikasi, dan yang paling penting telah teruji sangat efektif untuk bisa membawa subjek tipe apapun masuk ke kondisi deep trance dengan cepat dan pasti?”
Saya mencari hampir 3 tahun. Dan akhirnya menemukannya. Teknik ini selanjutnya saya ujicobakan di ruang praktik saya dengan hasil yang sangat memuaskan. Seiring dengan perkembangan pemahaman mengenai cara kerja pikiran saya menyempurnakan teknik induksi ini sehingga menjadi jauh lebih efektif. Dan baru-baru ini, di kelas Quantum Hypnosis Indonesia angkatan 9 saya kembali menyempurnakan teknik ini dan hasilnya sungguh luar biasa.
Yang saya lakukan adalah saya menggabungkan teknik induksi asli dengan pengetahuan yang saya dapatkan dari hasil riset dengan menggunakan Mind Mirror IV dengan melihat langsung perubahan gelombang otak dan kedalaman trance saat induksi diberikan.
Sebelum penyempurnaan di QHI 9, dari pengalaman, teknik induksi ini terbukti mempunyai tingkat efektivitas antara 90% – 92,17% mampu membawa klien tipe apapun masuk ke kondisi profound somnambulism. Yang “gagal” diinduksi bukan berarti tidak masuk deep trance namun sering kali klien melampaui kondisi profound somnambulism dan masuk ke level Esdaile atau Hypnotic Coma. Untuk yang level ini tidak dihitung.
Penyempurnaan teknik induksi di QHI 9 ini mempunyai tingkat efektivitas yang sangat tinggi. Hasil uji sementara menghasilkan rata-rata 97,34%. Saya masih menunggu laporan lanjutan dari alumni QHI.
Jadi, menjawab pertanyaan di atas, uji sugestibilitas apakah perlu dilakukan atau tidak semuanya bergantung pada masing-masing individu. Sekali lagi ini bukan benar atau salah. Namun lebih pada teori yang digunakan.
Untuk saya pribadi dan semua alumni QHI, dalam konteks hipnoterapi, kami sama sekali tidak menggunakan uji sugestibilitas saat akan melakukan induksi.

Kamis, 27 Oktober 2011

TEKNIK SUGESTI HIPNOTIS


Teknik-teknik ini saya kutip dari buku karya Adi W. Gunawan yang berjudul Hypnotherapy : The Art of Subconcious Restructuring ,dengan perubahan dan penambahan. Hal yang perlu diingat adalah uji sugestibilitas sangat penting dilakukan sebab dengan uji sugestibilitas kita dapat mengetahui tipe suyet kita. Dan sebelum itu, anda harus mengenal yang namanya Physical suggestibility dan Emotional suggestibility.
1. Physical Suggestibility
Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Physical Suggestibility berarti sugestibilitas yang dominan bersifat fisik. Sugestibilitas sendiri mempunyai arti dasar “cara belajar seseorang”. Nah, orang yang bertipe physical biasanya mempelajari sesuatu dengan cara hal-hal yang berkaitan dengan fisik. Yang menggembirakan adalah orang tipe ini mudah untuk dihipnosis, sedangkan kabar buruknya orang yang bertipe physical suggestibility termasuk sedikit. Mengapa orang yang bertipe physical mudah dihipnosis? Sebab, semua tehnik hipnosis umumnya diperuntukkan kepada orang bertipe physical. Anda dapat menggunakan metode sugesti “Direct” (memerintah secara langsung) kepada orang bertipe ini. Ciri mendasar orang yang bertipe Physical adalah lulus uji sugestibilitas dan sangat menurut pada sugesti yang kita berikan.
2. Emotional Suggestibility
Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Emotional Suggestibility berarti sugestibilitas yang dominan menyangkut masalah emosi. Orang yang bertipe ini, belajar sesuatu cenderung menggunakan sifat/emosinya. Orang bertipe ini berpopulasi lebih banyak dibanding tipe physical dan kabar buruknya rata-rata orang yang bertipe ini susah dihipnosis. Sebab, rata-rata script-script hipnosis bersifat physical. Oleh karena itu, anda diwajibkan menggunakan metode sugesti “Indirect” (bersifat tidak langsung dan cenderung mengajak) kepada orang bertipe ini. Ciri mendasar orang yang bertipe Emotional adalah gagal dalam uji sugestiblitas dan enggan menurut dengan perintah langsung.
Setiap orang memiliki kadar physical suggestibility dan emotional suggestibility yang berbeda-beda. Ada yang 40% physical dan 60% emotional, 30% emotional dan 70% physical dll. Yang paling baik adalah suyet dengan 50% physical dan 50% emotional. Sebab, suyet tersebut sangat efektif untuk menerima sugesti positif maupun negatif (stage hypnotist). Apakah ada orang yang 100% physical atau 100% emotinal? memang ada, namun sangat langka.
Teknik-Teknik Uji Sugestibilitas
Uji Sugestibilitas bertujuan :
1. Menentukan tipe suyet
2. Mengkonversikan uji sugestibilitas ke dalam hipnosis
Saat melakukan uji sugestibilitas terhadap suyet untuk pertama kali, kita menggunakan metode sugesti Direct yang bersifat memerintah secara langsung. Anda boleh langsung mengkonversikan ke hipnosis jika anda sudah mengenal tipe sugestibilitas suyet. Namun, anda juga tidak perlu mengkonversikan ke hipnosis jika anda sekedar ingin mengetahui tipe sugestibilitas suyet. Teknik-teknik berikut ini adalah teknik dasar uji sugestibilitas dan diperuntukan bagi orang yang belajar hipnosis.sebetulnya ada banyak tehnik yang bisa di eksplorasi.berikut tehnik yang mudah anda lakukan.
1. Arm Raising Test (ART)
Arm Raising Test sangat penting dikuasai oleh hipnotis dan harus dikuasai sempurna. Teknik ini mempunyai banyak fungsi dan manfaat, bagi terapis maupun klien, sebagai berikut :
1. ART dapat dikonversi dengan mudah ke kondisi hipnosis.
2. ART dapat menjangkau orang yang bertipe emotional yang tinggi.
3. ART adalah cara mudah bagi hipnotis untuk menunjukkan bahwa klien mampu merespon ide-ide sugestif.
4. ART adalah sebuah latihan, hampir bukan tes, sehingga suyet tidak mungkin gagal.
5. ART memberikan peluang kepada hipnotis untuk menggunakan teknik induksi yang lain.
6. ART memberikan peluang kepada hipnotis untuk meningkatkan kadar physical ataupun emotional suggestibility.
7. ART merupakan teknik yang sangat baik bagi hipnotis pemula atau orang yang belajar.
8. ART dapat menghipnosis kelompok/massa.
adapun tehnik ART ialah,anda minta klien berimajinasi bahwa tangannya seakan seringan balon.dan biarkan klien berimajinasi seakan tangannya seakan terangkat dengan sendirinya tanpa di bantu atau di perintah.jika ternyata mampu. bisa anda lanjutkan ke tahap induksi.
2. Finger Spreading Test
Teknik ini menggunakan tangan suyet sebagai media tes. Mintalah suyet menjulurkan tangannya ke depan 30 cm dari wajah dan menghadap ke wajah. Posisi ujung jari tengah setinggi hidung. Sugestikan bahwa jari-jari tangan suyet mulai terbuka. Jika jari-jari tangan suyet membuka. Sugestikan bahwa tangan suyet dengan wajah suyet seperti ada magnet yang saling tarik menarik. Tangan suyet bergerak ke arah wajah dan akan menempel. Saat tangan suyet menempel di wajahnya, jentikkan jari anda dan katakan Tidur Nyenyak.
3. Hand Locking Test
Teknik ini menggunakan tangan suyet sebagai media tes. Mintalah suyet untuk mengenggam tangannya. Dan sugestikan bahwa tangan suyet menggenggam dengan rapat dan tidak bisa dibuka. Terkunci rapat dan saling melekat seperti lem. Jika sudah disugestikan secara terus-menerus, mintalah suyet untuk mencoba berusaha membuka tangannya sendiri. Jika tidak bisa, berarti suyet lulus uji sugestibilitas.

Rabu, 18 Mei 2011

Gelombang Otak & Hipnosis

Jaringan otak manusia hidup menghasilkan gelombang listrik yang berfluktuasi. Gelombang listrik inilah disebut brainwave atau gelombang otak. Dalam satu waktu, otak manusia menghasilkan berbagai gelombang otak secara bersamaan. Empat gelombang otak yang diproduksi oleh otak umumnya manusia yaitu beta, alpha, tetha, delta. Akan tetapi selalu ada jenis gelombang otak yang paling dominan, yang menandakan aktivitas otak saat itu. Gelombang otak menandakan aktifitas pikiran seseorang.





Gelombang otak diukur dengan alat yang dinamakan Electro Encephalograph (EEG). EEG ditemukan pada tahun 1929 oleh psikiater Jerman, Hans Berger. Sampai saat ini, EEG adalah alat yang sering diandalkan para peneliti yang ingin mengetahui aktivitas pikiran seseorang.


Beta, frekuensi 12 - 25 Hz.
Dominan pada saat kita dalam kondisi terjaga, menjalani aktifitas sehari-hari yang menuntut logika atau analisa tinggi, misalnya mengerjakan soal matematika, berdebat, olah raga, dan memikirkan hal-hal yang rumit. Gelombang beta memungkinkan seseorang memikirkan sampai 9 obyek secara bersamaan.

Alpha, frekuensi 8 - 12 Hz.
Dominan pada saat tubuh dan pikiran rileks dan tetap waspada. Misalnya ketika kita sedang membaca, menulis, berdoa dan ketika kita fokus pada suatu obyek. Gelombang alpha berfungsi sebagai penghubung pikiran sadar dan bawah sadar. Alfa juga menandakan bahwa seseorang dalam kondisi kondisi hipnotis yang ringan.

Theta, frekuensi 4 - 8 Hz
Dominan saat kita mengalami kondisi hipnotis yang dalam, meditasi dalam, hampir tertidur, atau tidur yang disertai mimpi. Frekuensi ini menandakan aktivitas pikiran bawah sadar.

Delta, frekuensi 0,1 - 4 Hz.
Dominan saat tidur lelap tanpa mimpi.

Penemuan alat untuk mengukur gelombang otak berpengaruh positif terhadap perkembangan hipnotis. hipnotis yang semula dianggap sebagai hal yang misterius, menakutkan, dan dianggap fenomena supranatural, sekarang sudah diterima secara ilmiah sebagai kondisi alami manusia.

Telah dilakukan penelitian pada sejumlah subjek dan diperoleh hasil bahwa subyek yang sedang dalam kondisi hipnotis, gelombang otaknya antara alpha dan theta. Dalam kondisi terjaga, gelombang otak subyek umumnya adalah beta. Begitu dilakukan induksi, maka gelombang otak subyek secara cepat turun ke alpha, dan setelah dilakukan teknik deepening, otak subyek menunjukkan gelombang theta. Diyakini oleh para ilmuan bahwa apabila otak memproduksi gelombang otak theta yang dominan, maka sedang terjadi aktifitas pikiran bawah sadar.

Sekarang anda sudah tahu bahwa seorang dalam kondisi trance hipnotis gelombang otaknya adalah antara alpha dan theta. Pertanyaannya, apakah gelombang otak alpha dan theta hanya terjadi pada kondisi trance hipnotis saja?

Ternyata tidak. Secara alami anda memasuki kondisi alpha dan theta setiap akan tidur dan bangun tidur. Ketika anda sudah merasa sangat rileks, tenang, dan hampir tertidur, tapi anda masih menyadari keberadaan anda, maka seperti itulah kondisi hipnotis. Ketika anda terjaga dari tidur, dan masih malas untuk beranjak dari tempat tidur karena masih ingin melanjutkan tidur lagi, maka seperti itulah kondisi hipnotis.

Bedanya ketika anda akan tidur yaitu anda hanya mengalami kondisi alpha-theta dalam beberapa menit saja, kemudian gelombang otak anda turun ke delta (tanda bahwa tubuh dan pikiran anda beristirahat total). Sedangkan dalam kondisi hipnotis, anda bisa mengalami kondisi trance (gelombang otak alpha-theta) dalam waktu yang lama.

Orang yang bermeditasi, berdoa dengan khusyuk, terpana melihat sesuatu, terhanyut membaca novel atau suatu cerita, melamun dan semacamnya juga menghasilkan gelombang otak alpha sampai theta.

Dengan mengetahui bahwa kondisi hipnotis adalah kondisi yang alami bagi manusia, maka tidak perlu ada ketakutan lagi bahwa hipnotis itu berbahaya. Kecurigaan bahwa ada unsur magis, sihir atau paranormal dalam hipnotis sudah lenyap sejak diketahui bahwa hipnotis itu fenomena mental yang alami.

Pertanyaan Umum

Seperti apa rasanya dalam kondisi hipnotis?
Banyak orang yang belum tahu hipnotis, menganggap bahwa kondisi hipnotis itu sama dengan tidur atau pingsan. Sebenarnya, kondisi hipnotis adalah kondisi relaksasi pikiran yang biasanya disertai relaksasi tubuh seperti ketika Anda merilekskan tubuh Anda menuju tidur di malam hari. Ketika Anda dihipnotis, Anda akan merasakan seluruh tubuh rileks, pikiran fokus, perasaan damai, dan Anda tetap bisa mendengar suara di sekitar Anda.

Apakah Hipnotis sama dengan menguasai pikiran orang lain?
TIDAK. Misalkan saya menghipnotis Anda. Meskipun Anda berada dalam kondisi hipnotis, bukan berarti Anda akan melaksanakan semua perintah saya. Pikiran bawah sadar tetap melindungi Anda dari sugesti yang merugikan dan melanggar keyakinan yang Anda anut. Misalnya, saya memerintahkan Anda untuk memotong jari Anda sendiri atau meludahi kitab suci agama Anda, maka Anda pasti menolak, bahkan Anda langsung terbangun dari hipnotis. Jika saya menghipnotis Anda, bukan berarti saya menguasai pikiran Anda. Memang benar sugesti akan sangat kuat pengaruhnya pada pikiran Anda, tetapi hanya sugesti yang tidak merugikan dan tidak melanggar keyakinan Anda.

Apakah Hipnotis bisa digunakan untuk kejahatan?
TIDAK. Hasil penelitian oleh para pakar hipnotis menyatakan bahwa hipnotis tidak bisa digunakan untuk kejahatan. Aksi kejahatan yang sering diberitakan sebagai "kejahatan hipnotis" sebenarnya tidak menggunakan hipnotis. Media masa dan masyarakat menyebut-nya sebagai hipnotis karena mereka belum tahu hipnotis yang sebenarnya. Menurut pengamatan saya, aksi-aksi kejahatan yang diberitakan sebagai "kejahatan hipnotis itu" tidak lain hanya penipuan atau perampasan yang menggunakan obat tidur / obat bius.

Apakah Hipnotis menggunakan kekuatan supranatural?
TIDAK. hipnotis adalah ilmu pengetahuan ilmiah walaupun terlihat misterius bagi orang yang belum mengenalnya. Seorang ahli hipnotis tidak memakai kekuatan supranatural, gaib, mistik, atau bantuan makhluk halus. hipnotis menggunakan sugesti atau pengaruh kata-kata yang disampaikan dengan teknik-teknik tertentu. Satu-satunya kekuatan dalam hipnotis adalah komunikasi. Saya hanya bisa menghipnotis Anda jika Anda memahami bahasa yang saya gunakan. Saya tidak bisa menghipnotis orang Inggris dengan Bahasa Indonesia, kecuali orang Inggris itu paham Bahasa Indonesia.

Apa syarat orang yang bisa dihipnotis?
Banyak orang menganggap bahwa orang yang bisa dihipnotis adalah orang yang bodoh atau lemah pikirannya. Ini adalah anggapan yang salah. Faktanya, seseorang hanya bisa dihipnotis apabila orang tersebut cukup cerdas, mampu berkonsentrasi dan bisa berimajinasi. Hypnosis tidak bisa diterapkan kepada orang gila, idiot, orang tuli, atau anak kecil yang belum bisa berkomunikasi dua arah. Semakin cerdas seseorang semakin mudah dihipnotis. Jadi, jangan gembira kalau Anda merasa tidak akan bisa dihipnotis.

Apakah saya akan selalu jujur ketika dalam kondisi hipnotis?
Anda tetap bisa berbohong walaupun dalam kondisi hipnotis. Bahkan Anda bisa membuat kebohongan lebih sempurna dibanding ketika sadar, karena kondisi hipnotis membuat Anda semakin kreatif, termasuk kreatif mengarang cerita. Dalam kondisi hipnotis, apabila seseorang bertanya tentang rahasia pribadi yang tidak ingin Anda beberkan, maka pikiran bawah sadar tidak mau menjawab.

Apa saja manfaat hipnotis?
Hipnotis adalah ilmu untuk "memprogram pikiran bawah sadar". Manfaat hipnotis amat sangat banyak sekali. Sampai-sampai saya tidak bisa membatasi apa saja yang bisa atau tidak bisa dibantu dengan hipnotis. Hipnotis bisa berperan dalam segala masalah yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan. Hipnotis bisa digunakan untuk hiburan, mengubah perilaku, menghilangkan kebiasaan buruk, motivasi sukes, mengingkatkan kepercayaan diri, mengontrol perasaan, menyembuhkan penyakit, mengatasi rasa sakit, memaksimalkan kemampuan otak, dan masih banyak lagi.

Apa efek samping setelah dihipnotis ?
Hipnotis sangat aman apabila dilakukan oleh orang yang kompeten bidang ini. Sama sekali tidak ada efek samping yang merugikan apabila hipnotis yang sudah terlatih dengan baik. Mungkin Anda takut tidak bisa bangun dari hipnotis atau takut akan kehilangan ingatan Anda setelah bangun dari kondisi hipnotis. Namun faktanya, tidak pernah ada orang yang tidak bisa bangun dari hipnotis atau menjadi lupa ingatan karena hipnotis. Sebaliknya, hipnotis memberi efek samping positif yaitu meningkatnya konsentrasi orang yang dihipnotis.

Cara Kerja Hipnosis

Banyak orang bertanya, bagaimana cara kerja hipnotis? Bagaimana bisa orang disuruh melakukan ini itu tanpa perlawanan? Berikut ini adalah penjelasannya.

Pikiran atau kesadaran kita itu seperti bawang yang berlapis-lapis. Secara garis besar manusia punya satu pikiran/kesadaran yang terdiri dari dua bagian, yaitu pikiran sadar dan bawah sadar. Pikiran Sadar adalah proses mental yang bisa Anda kendalikan dengan sengaja. Pikiran Bawah Sadar adalah proses mental yang berfungsi secara otomatis sehingga Anda tidak menyadarinya dan sulit untuk dikendalikan secara sengaja





Pikiran sadar mempunyai 4 fungsi utama, yaitu: mengenali informasi yang masuk dari pancar indra, membandingkan dengan memori kita, menganalisa, dan kemudian memutuskan respon spesifik terhadap informasi tersebut. Sedangkan pikiran bawah sadar berfungsi memproses kebiasaan, perasaan, memori permanen, kepribadian, intuisi, kreativitas, dan keyakinan.

Pengaruh pikiran bawah sadar terhadap diri kita adalah 9 kali lebih kuat dibandingkan pikiran sadar. Itulah mengapa banyak orang yang sulit berubah meskipun secara sadar mereka sangat ingin berubah. Apabila terjadi pertentangan keinginan antara pikiran sadar dan bawah sadar, maka pikiran bawah sadar selalu menjadi pemenangnya.

Apabila kita ingin mengubah kebiasan, kepribadian, keyakinan yang negatif, mengendalikan emosi, maka yang harus diubah adalah "pogram pikiran" yang ada di pikiran bawah sadar. Misalnya, sebagian besar perokok tahu bahwa merokok itu meruginkan. Bahkan tidak sedikit yang ingin berhenti merokok. Namun mereka seolah tidak bisa lepas dari kebiasaan merokok, meskipun segala usaha telah dilakukan. Hal ini terjadi karena pikiran bawah sadarnya selalu menginginkan rokok. Tidak peduli sekuat apapun pikiran sadar berusaha menolak rokok, selama pikiran bawah sadarnya masih suka (baca: terbiasa) merokok, maka berhenti merokok adalah hal yang mustahil.

Garis putus-putus (pada gambar di atas) meng-ilustrasi-kan Critical Factor. Critical Factor adalah bagian dari pikiran yang selalu menganalisis segala informasi yang masuk dan menentukan tindakan rasional seseorang. Critical Factor ini melindungi pikiran bawah sadar dari ide, informasi, sugesti atau bentuk pikiran lain yang bisa mengubah program pikiran yang sudah tertanam di bawah sadar.

Seorang anak kecil usia 0-3 tahun dalam pikirannya belum terbentu Critical Factor, sehingga anak kecil menerima perintah/informasi dari orang lain begitu saja tanpa berpikir panjang. Anak kecil tidak menyaring informasi/sugesti, apapun yang diterima dari lingkungannya dianggap sebagai sesuatu yang benar. Usia 0-3 tahun ini adalah fase kritis dalam pertumbuhan anak. Jika kita banyak memberikan perintah/informasi yang positif, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang cerdas dan sukses, begitu sebaliknya. Seiring bertambahnya usia, Critical Factor akan membentuk dan semakin menguat hingga dewasa.

Ketika kita sudah dewasa dan dalam kondisi sadar seperti sekarang ini, Critical Factor akan menghalangi afirmasi atau sugesti yang ingin kita tanamkan ke pikiran bawah sadar. Sugesti yang diucapkan dalam kondisi sadar terhalang oleh Critical Factor, sehingga efeknya sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali karena ditolak mentah-mentah oleh Critical Factor. Misalnya, seorang perokok yang sudah 20 tahun merokok mengatakan pada dirinya "Saya mau berhenti merokok sekarang", maka Critical Factornya mengkritik dengan kata-kata yang terdengar dalam hati "Walah kamu mana bisa berhenti merokok, kamu sudah terlalu lama merokok, apa kamu mampu meninggalkan rokok?, omong kosong, kamu dulu juga sudah pernah mau berhenti merokok tapi nyatanya gagal." Hasilnya kemauan untuk berhenti merokok itu menjadi lemah dan kita tidak berdaya untuk berhenti merokok.

Saat saya melakukan hipnotis, yang terjadi adalah saya mem-by-pass Critical Factor subjek (orang yang dihipnotis) dan langsung berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar subjek. Hasilnya saya bisa memprogram ulang pikiran subyek seperti berbicara pada anak usia 0-3 tahun. Hampir-hampir tidak ada perlawanan dalam diri subyek selama sugesti yang saya berikan tidak merugikan subyek. By-pass di sini jangan disalah artikan sebagai suatu bentuk manipulasi. Menembus Critical Factor ini dilakukan dengan suatu teknik induksi.

Induksi bisa dilakukan dengan cara membuat pikiran sadar subjek dibuat sibuk, lengah, bosan, bingung (tidak memahami) atau lelah sehingga pintu gerbang menuju pikiran bawah sadar, yaitu Critical Factor terbuka atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Karena Critical Factor terbuka atau pengawasannya lemah maka sugesti akan langsung menjangkau pikiran bawah sadar.


Critical Factor menjadi tidak aktif ketika seseorang dalam kondisi hipnotis. Maka dari itu, semua sugesti - selama tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan dan nilai-nilai dasar yang dianut seseorang - akan diterima oleh pikiran bawah sadar sebagai kebenaran, kemudian disimpan sebagai program pikiran. Program pikiran yang sudah ditanamkan melalui sugesti dalam kondisi hipnotis, akan menjadi pemicu perubahan yang permanen.

Jenis-Jenis Hipnosis

HYPNOTHERAPY / CLINICAL HYPNOSIS
Hypnotherapy atau Clinical Hypnosis adalah aplikasi hipnotis dalam menyembuhkan gangguan mental dan meringankan gangguan fisik. hipnotis telah terbukti secara medis bisa mengatasi berbagai macam gangguan psikologis maupun fisik. Hipnotis tidak seperti cara pengobatan lain yang mengobati gejala (simptom) atau akibat yang muncul. Hipnotis berurusan langsung dengan penyebab suatu masalah. Dengan menghilangkan penyebabnya maka secara otomatis akibat yang ditimbulkan akan lenyap atau tersembuhkan.

MEDICAL HYPNOSIS

Yaitu penggunaan hipnotis untuk dunia medis, terutama oleh dokter ahli bedah dan dokter gigi dalam menciptakan efek anesthesia tanpa menggunakan obat bius. Teknik hipnotis yang digunakan untuk anestesi sudah digunakan oleh John Elliotson (1791 -1868). Elliotson adalah dokter yang pertama kali menggunakan mesmerisme (nama kuno dari hypnotism) untuk melakukan pembedahan tanpa rasa sakit. Pada masa Elliotson hidup, belum ditemukan anestesi (obat bius) sehingga sebagian dokter menggunakan hipnotis.

COMEDY HYPNOSIS

Comedy Hypnosis adalah hipnotis yang digunakan untuk hiburan semata. Comedy Hypnosis juga sering disebut sebagai Stage Hypnosis. Dinamakan stage hypnosis atau hipnotis panggung karena pada awalnya hipnotis untuk hiburan hanya diperankan di atas panggung. Namun Comedy Hypnosis sekarang tidak terbatas dalam panggung. Di jalan, taman, mall, kampus atau dimana saja Anda bisa mempraktekkan Comedy Hypnosis.

FORENSIC HYPNOSIS

Dalam penyelidikan kepolisian, hipnotis bisa digunakan untuk menggali informasi dari saksi. Suatu kejadian traumatis seperti dalam kasus kejahatan yang menakutkan cenderung membuat pikiran bawah sadar menyembunyikan ingatan yang lengkap tentang kejadian tersebut agar tidak bisa diingat oleh pikiran sadar. Tujuan pikiran sadar menyembunyikan informasi itu sesungguhnya untuk kebaikan diri sendiri, karena apabila ingatan itu muncul, maka trauma dan rasa takut akan muncul tanpa sebab. Dengan bantuan hipnotis, korban atau saksi bisa mengingat kembali dengan jelas dalam kondisi pikiran yang tenang.

Rabu, 13 April 2011

KONSEP KONSELING BERDASARKAN AYAT-AYAT AL QUR’AN TENTANG HAKIKAT MANUSIA, PRIBADI SEHAT, DAN PRIBADI TIDAK SEHAT

ABSTRAK

Kajian ini adalah untuk menemukan konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat. Bentuk kajian ini adalah kajian pustaka yang bersifat kualitatif. Hasil kajian ini disimpulkan: manusia pada hakikatnya adalah makhluk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah. Pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.

Kata-kata kunci: Konsep konseling, hakikat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis.
Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya
Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40).

Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit, serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan.

B. METODE
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).
2. Pendekatan dan Tahap-Tahap Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersifat penafsiran (hermeneutik). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2001:163). Adapun hermeneutik berarti penafsiran atau menafsirkan, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci, seperti Al Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad (Sumaryono, 1999: 24-28). Jadi, analisis dalam penelitian ini adalah menganalisis data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung relevan dengan konsep konseling, agar dapat diketahui dan dimengerti kandungan konselingnya secara jelas.
Adapun langkah-langkah dalam kajian ini adalahsenagai berikut:
Pertama. Menemukan konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat dari teori-teori pendekatan konseling. Konsep tersebut ditelaah dari teori-teori pendekatan konseling yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan yaitu; psikoanalitik, terapi Adlerian, terapi eksistensial, terapi terpusat pada pribadi, terapi gestalt, analisis transaksional, terapi perilaku, terapi rasional emotif, dan, terapi realita.
Kedua. Mencari dan mengumpulkan data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling. Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling dengan berpijak pada sifat dan kriteria konsep pokok konseling yang pada langkah pertama.
Ketiga. Menetapkan ayat-ayat Al Qur’an yang relevan dengan konsep pokok konseling, menafsirkan, dan menguraikannya secara konseptual dan sistematis.
Keempat. Melakukan sintesis kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan konsep konseling, yaitu dengan mengungkap, menghubungkan dan menggabungkan secara kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditetapkan dengan konsep pokok konseling sehingga terlihat dengan jelas relevansinya.
Kelima. Membuat ketetapan akhir dengan menyimpulkan bagaimana konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an secara konseptual dan sistematis.

C. HASIL KAJIAN
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Terpusat pada Pribadi, Terapi Eksistensial, Terapi Gestalt, Rasional Emotif Terapi, dan Terapi Realita. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir: 38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah: 155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa (Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan An-Nisa: 78).
c. Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, (2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali, (4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6) Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf: 179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
d. Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).
2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral, Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh, adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah: 275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang menangis.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).

3. Pribadi Tidak Sehat
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6) inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8) kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145). Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal (Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan) (Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1, Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191, Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh, dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan An-Nisa: 29).
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).

D. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah dorongan yang tidak rasional, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud dalam Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam pembentukan kepribadian berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa dorongan seksual (libido), dorongan hidup (eros) dandorongan agresip merusak diri (thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan kehendak yang berada di luar kesadaran manusia.

b. Sebagai Makhluk Pribadi
Al Qur’an menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang, memiliki kesadaran diri (as-syu’ru), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung jawab. Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf, memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa, memiliki kesadaran (as syu’ru) begitu juga tentang kematian ia akan datang kapan saja dan dimana saja dan tidak diketahui sebelumnya, sebab kematian adalah merupakan urusan Allah semata.
Keterangan tersebut relevan dengan konsep konseling, yaitu manusia ada bersama orang lain oleh karena itu manusia harus memiliki kepribadian yang eksis. Pribadi yang eksis itu menurut konsep konseling adalah pribadi yang memiliki potensi kemampuan berpikir rasional, memiliki kesadaran diri, memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, bertanggung jawab atas arah pilihan yang ditentukan sendiri, merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, dan selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri
c. Sebagai Makhluk Sosial
Manusia memiliki fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok, bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya). Manusia membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi, memiliki hati nurani (kalbu), dan mampu melakukan amal shalih.
Keterangan di atas relevan dengan konsep konseling yang mengungkapkan bahwa manusia ada merupakan bagian dari masyarakat dan dunia sosial, sehingga kita tidak berarti tanpa adanya orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, ia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), keputusan dapat ditinjau kembali apabila keputusan yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, ia selalu menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan, membuat dan menyumbang, menerima diri sendiri dengan apa adanya, dan memiliki komponen superego, yaitu kode moral dan nilai ideal yang mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah.
d. Sebagai Makhluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada. Namun ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu, mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan bertanggung jawab, berbuat atas pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik terhadap sesama manusia maupun kepada Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan), serta sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya, memiliki sikap tawakkal, serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri (qana’ah).
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu memiliki ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego, bebas dari kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan tanggungjawab, kongruensi, sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, serta tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun pengalaman itu buruk dan menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap orang lain adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima pengalaman dan bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok your are ok), signifikan dan berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang mampu memproduk lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah pribadi yang mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna mengolah lingkungan menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik.
Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.

3. Pribadi Tidak Sehat
Pribadi tidak sehat pada hakikatnya adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral, tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia, ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik, riya yaitu beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran diri dan tidak konstruktif, tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai berikut: ego tidak berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai kecemasan, tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak bertanggung jawab, inkongruen, sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, tidak mau saling menolong (ta’awun), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain, su’us zhan (berfikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah yaitu menggunjing sesama, kufur nikmat, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, gemar melakukan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu perbuatan yang cendrung hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, dan sebagainya.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang egois dan tidak mau menyumbang, memandang diri sendiri baik sedang orang lain jelek (I’m ok your are not ok), berpikiran negatif terhadap orang lain, ketidak mampuan menyesuaikan diri secara psikologis, memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengorbankan (merampas) hak orang lain.
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak bisa membangun hubungan baik dengan alam atau kosmos, dan ikut berperilaku yang bisa merusak lingkungan..
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt. yaitu ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya untuk dilaksanakan, atau tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut .
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Alah Swt.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
d. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4). Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
2. Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah lengkap dan final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.


DAFTAR PUSTAKA


Adz-Dzaky, H.B. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

Ancok, J. & Suroso, F.N. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.

As Shiddiqy, TM. Tafsir Al Qur’an Al Majied: An Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Bishop, D.R. 1992 Religius Values as Cross-Cultural Issues in Counseling. Counseling and Values, (36): 179-191,.

Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direkturat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1990.

Brian, J. Zinnbauer and Kenneth I. Pergement. 2000. Working With The Sacred: Four Approaches to Religious and Spiritual Issues in Counseling. Journal of Counseling & Development. (78): 162-170.

Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996.

Cottone, R.R. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1992.

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV / Tahun I, 1984/1985.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990.

Gania, V. 1994. Scular Psychotherapists and Religious Clients: Profesional Consideration and Recommendations. Journal of Counseling and Development. (72): 395-398.

Gilliland, B.E., James, K.R., Bowman,J.T. Theories and Strategie in Counseling and Pasychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1984.

Hall, C.H., Lindzey, G. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, INC., 1970.

Ismail, M. Shahih Al-Bukhari, Juz. 1 – 4. Istambul Turki: Al-Maktabah Al-Islami, 1979.

Kivlighan, Jr, D.M. and Shaughnessy, P. 1995.Analysis of the Development of the Working Alliance Using Hierarchical Linear Modeling. Journal of Counseling Psychology 42: 338–349.

Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994.

Madjid, N. Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.9-58). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

Muzhahiri, H. Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani. Terjemahan Ahmad Subandi: PT. Lentera Basritama, 2000.

Mujib, A. & Mudzakir, J.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Nelson-Jones. Counseling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1995.

Pidarta,M. 1999. Studi tentang Landasan Kependidikan. Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. (26): 3-15.

Rachman, B.M. Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Pemikiran Neo-Modernisme Islam Di Indonesia. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.99-141). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.

HAKEKAT PSIKOLOGI ISLAM

Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Pengertian pertama lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Psikolog di sini berperan untuk merumuskan hakekat jiwa yang proses penggaliannya didasarkan atas pendekatan spekulatif. Kelebihan pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakekat psikologi yang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkap hakekat jiwa yang menjadi objek utama kajian psikologi. Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris. Psikologi seakan-akan masih menjadi bagian dari disiplin filsafat, yang salah satu kajiannya membahas hakekat jiwa.
Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Namun pemisahan ini belum sempurna, sehingga antara disiplin filsafat dengan psikologi masih berbaur. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam wacana Psikologi Kontemporer adalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini, fokus kajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala-gejala jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakekat jiwa tersebut tidak dapat diketahui, sehingga psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya dari kalangan Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat jiwa. Mereka bahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa binatang. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.
Pengertian psikologi yang dimaksud dalam buku ini lebih cenderung pada pengertian pertama. Ada beberapa alasan mengapa pengertian pertama yang dipilih: Pertama, Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang mandiri baru memasuki proses awal. Pendekatan yang digunakan lebih mengarah pada pendekatan spekulatif, yang membicarakan hakekat mental dan kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses deduktif, yang digali dari nash (al-Qur`an dan al-Sunnah) dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan belum memasuki wilayah empiris-eksperimental; Kedua, Psikologi Kontemporer Barat dalam perkembangannya mengalami distorsi yang fundamental. Psikologi seharusnya membicarakan tentang konsep jiwa, namun justru ia mengabaikan bahkan tidak tahu-menahu tentang hakekat jiwa, sehingga ia mempelajari “ilmu jiwa tanpa konsep jiwa.” Ketiga, karena alasan ke dua di atas, psikologi kontemporer mempelajari manusia yang tidak berjiwa. Atau, menyamakan gejala kejiwaan manusia dengan gejala kejiwaan hewan, sehingga temuan-temuan dari perilaku hewan digunakan untuk memahami perilaku manusia. Atas dasar ketiga alasan di atas, penulis lebih cenderung menggunakan pengertian pertama. Pemilihan ini tidak berarti menafikan keberadaan pengertian psikologi yang lain, tetapi penulis berharap agar ada perimbangan atau bandingan dalam memilih model pengembangan disiplin psikologi. Untuk beberapa tahun mendatang, barangkali Psikologi Islam dapat mengembangkan pengertian yang ketiga, setelah kerangka konseptualnya telah mapan dan diakui secara objektif dalam perbendaharaan Psikologi Kontemporer.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Istilah ‘Ilm al-Nafs banyak dipakai dalam literatur Psikologi Islam. Bahkan Sukanto Mulyomartono lebih khusus menyebutnya dengan “Nafsiologi.” Penggunaan istilah ini disebabakan objek kajian psikologi Islam adalah al-nafs, yaitu aspek psikopisik pada diri manusia. Term al-nafs tidak dapat disamakan dengan term soul atau psyche dalam psikologi kontemporer Barat, sebab al-nafs merupakan gabungan antara substansi jasmani dan substansi ruhani, sedangkan soul atau psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia. Menurut kelompok ini, penggunaan term al-nafs dalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan doktrin ajaran Islam, sebab tidak ada satupun nash yang melarang untuk membahasnya. Tentunya hal itu berbeda dengan penggunaan istilah al-ruh yang secara jelas dilarang mempertanyakannya (perhatikan Q.S. al-Isra` ayat 85).
Penggunaan istilah ‘Ilm al-Ruh ditemukan dalam karya ‘psikolog’ Zuardin Azzaino. Istilah itu kemudian dijadikan dasar untuk membangun ‘Psikologi Ilahiah’, yaitu psikologi yang dibangun dari kerangka konseptual al-ruh yang berasal dari Tuhan. Boleh jadi Azzaino tidak mengikuti perkembangan literatur Psikologi Islam, sebab literatur yang digunakan dalam bukunya tidak satupun yang bersumber dari ’Ilm al-Nafs fi al-Islam (Psikologi Islam). Tetapi yang menarik dari tawaran Azzaino tersebut adalah bahwa ruh yang menjadi objek kajian psikologi Islam memiliki ciri unik, yang tidak akan ditemukan dalam Psikologi Kontemporer Barat. Objek kajian Psikologi Islam adalah ruh yang memiliki dimensi ilahiah (teosentris), sedangkan objek kajian Psikologi Kontemporer Barat berdimensi insaniah (antroposentris). Karena perbedaan yang mendasar inilah maka Azzaino terpaksa menggunakan term khusus untuk menentukan ciri unik Psikologi Islam.
Menanggapi kedua polemik ini, penulis lebih cenderung menggunakan istilah ‘Ilm al-Nafs. Selain istilah itu lebih populer dan masuk dalam perbendaharaan literatur psikologi, secara ideologis pembahasan objek al-nafs tidak bertentangan dengan nash. Hanya saja yang patut dipertimbangkan adalah kritikan Malik B. Badri bahwa Psikologi Islam kini nyaris masuk dalam liang Biawak, yang sulit keluar darinya. Kritikan itu nampaknya dapat ‘ditangkap’ dengan cermat oleh Azzaino, sehingga ia mencoba mencari alternatif peristilahan baru. Dengan demikian, kebolehan menggunakan istilah ‘Ilm al-Nafs dengan catatan tidak menyalahi kerangka filosofis Psikologi Islam.
Hakekat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Hakekat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok; Pertama, bahwa psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, Kebudayaan Islam, dan sebagaianya. Penempatan kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memilili pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakekat jiwa), epistimologi (bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melalui kerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti Psikopatologi Islam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi Sosial Islam, dan sebagainya.
Kedua, bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh, al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fu’ad, al-sirr, al-fithrah, dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Qur’an, al-Sunnah, serta dari khazanah pemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apa hakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar)-nya. Dari sini nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Swt.
Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan demikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuasa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasiangan, kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakan telah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-ilmiah adalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitas suatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri. Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika orang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta mengklaim keabsahan dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yang sama, yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.
Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanya berijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktek kedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak di an¬tara metode dan teknik yang dikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah normatif yang sudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan psikologi kepribadan dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan dis¬kursus-diskursus lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa Psikologi Kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikuti aturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka teruji secara empirik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, maka pemikiran mereka diakui sebagai disiplin yang objektif.
Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untuk ‘mengintip’ wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa Psikologi Barat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalu mereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis satu bab khusus untuk ‘Psikologi Timur’. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya dari psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.
Frank. J. Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto, judul asli, “Dictionary of Key in Psychology”,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John Dol¬lard, Neal E. Miller, B.F. Skinner dari Psiko-operan yang tidak begitu tertarik dengan persoalan struktur kejiwaan manusia yang menetap dan relatif stabil. Mereka lebih berminat mempelajari kebia¬saan-kebiasaan yang dapat mengakibatkan respons-respons ter¬tentu yang pada gilirannya membangkitkan stimulus-stimulus yang memiliki sifat pendorong. Atau berminat pada tingkah laku yang dapat diubah. Lihat!, Calvin Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Sifat dan Psikobehavioristik, diterjmahkan oleh Yustinus, judul asli; “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 320-221,326Lihat! “Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi” (1986) karya Sukanto Mulyomartono, kemudian disempurnakan bersama A. Dardiri Hasyim dengan judul “Nafsiologi; Sebuah Kajian Analitik” (1995); (2) “Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islâmiy” (1979) karya Hasan Muhammad al-Syarqawiy; (3) “‘Ilm al-Nafs al-Ma’âshir fi Dhaw’i al-Islâm” (1983) karya Muhammad Mahmud Mahmud; (4) “’Ilm al-Nafs al-Islamiy” (1989) karya Ma’ruf Zarif; dan (5) “al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs” (1982) karya Muhammad Usman Najati.Asas-asas Psikologi Ilahiah; Sistema Mekanisme Hubungan antara Roh dan Jasad (1990)” karya H.S. Zuardin Azzaino.Maksud keunikan di sini terutama menyangkut masalah-masalah yang mendasar (kerangka filosofis) dan bukan masalah-masalah teknis-operasional. Psikologi Islam tidak akan mentolerir masalah-masalah yang fundamenatal, sebab jika hal itu diabaikan maka mengakibatkan pengkaburan antara hakekat Psikologi Islam dengan Psikologi Kontemporer Barat. Sedangkan masalah-masalah teknik-operasional, Islam tidak banyak menyinggungnya, sehingga tidak ada salahnya jika mengadopsi dari yang lain. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam tidak menerima teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia dengan id, ego, dan super ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agama dinyatakan sebagai delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktur al-ruh yang berdimensi ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakan bentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia. Demikian juga masalah mimpi. Freud dan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi hanyalah produk psikis, sedangkan dalam Islam, mimpi boleh jadi berasal dari produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dari Tuhan dan syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti ia tidak mempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima oleh Nabi melalui mimpi. Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik analisis untuk keperluan terapi, maka tidak ada salahnya jika hal itu diadopsi dari teori Freud atau psikolog yang lain.Penjelasan masing-masing term tersebut dapat dilihat dalam pembahasan struktur dan dinamikanya.Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), terj. Yustinus, judul asli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 20-21Di antaranya: (1) Shafii, Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and Psychotherapy, (1985); (2) Hoesen Nasr (ed.), Islamic Spirituality: Foundation, (1989); dan (3) Ronald Alan Nicholson, Fi al-Tashawwuf al-Islami wa Tarihihi, terj. Abu al-‘ala al-Afifi (1969). alvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), terj. Yustinus, judul asli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 222