Rabu, 13 April 2011

KONSEP KONSELING BERDASARKAN AYAT-AYAT AL QUR’AN TENTANG HAKIKAT MANUSIA, PRIBADI SEHAT, DAN PRIBADI TIDAK SEHAT

ABSTRAK

Kajian ini adalah untuk menemukan konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat. Bentuk kajian ini adalah kajian pustaka yang bersifat kualitatif. Hasil kajian ini disimpulkan: manusia pada hakikatnya adalah makhluk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah. Pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.

Kata-kata kunci: Konsep konseling, hakikat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis.
Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya
Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40).

Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit, serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan.

B. METODE
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).
2. Pendekatan dan Tahap-Tahap Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersifat penafsiran (hermeneutik). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2001:163). Adapun hermeneutik berarti penafsiran atau menafsirkan, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci, seperti Al Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad (Sumaryono, 1999: 24-28). Jadi, analisis dalam penelitian ini adalah menganalisis data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung relevan dengan konsep konseling, agar dapat diketahui dan dimengerti kandungan konselingnya secara jelas.
Adapun langkah-langkah dalam kajian ini adalahsenagai berikut:
Pertama. Menemukan konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat dari teori-teori pendekatan konseling. Konsep tersebut ditelaah dari teori-teori pendekatan konseling yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan yaitu; psikoanalitik, terapi Adlerian, terapi eksistensial, terapi terpusat pada pribadi, terapi gestalt, analisis transaksional, terapi perilaku, terapi rasional emotif, dan, terapi realita.
Kedua. Mencari dan mengumpulkan data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling. Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling dengan berpijak pada sifat dan kriteria konsep pokok konseling yang pada langkah pertama.
Ketiga. Menetapkan ayat-ayat Al Qur’an yang relevan dengan konsep pokok konseling, menafsirkan, dan menguraikannya secara konseptual dan sistematis.
Keempat. Melakukan sintesis kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan konsep konseling, yaitu dengan mengungkap, menghubungkan dan menggabungkan secara kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditetapkan dengan konsep pokok konseling sehingga terlihat dengan jelas relevansinya.
Kelima. Membuat ketetapan akhir dengan menyimpulkan bagaimana konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an secara konseptual dan sistematis.

C. HASIL KAJIAN
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Terpusat pada Pribadi, Terapi Eksistensial, Terapi Gestalt, Rasional Emotif Terapi, dan Terapi Realita. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir: 38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah: 155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa (Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan An-Nisa: 78).
c. Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, (2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali, (4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6) Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf: 179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
d. Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).
2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral, Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh, adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah: 275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang menangis.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).

3. Pribadi Tidak Sehat
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6) inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8) kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145). Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal (Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan) (Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1, Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191, Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh, dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan An-Nisa: 29).
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).

D. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah dorongan yang tidak rasional, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud dalam Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam pembentukan kepribadian berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa dorongan seksual (libido), dorongan hidup (eros) dandorongan agresip merusak diri (thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan kehendak yang berada di luar kesadaran manusia.

b. Sebagai Makhluk Pribadi
Al Qur’an menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang, memiliki kesadaran diri (as-syu’ru), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung jawab. Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf, memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa, memiliki kesadaran (as syu’ru) begitu juga tentang kematian ia akan datang kapan saja dan dimana saja dan tidak diketahui sebelumnya, sebab kematian adalah merupakan urusan Allah semata.
Keterangan tersebut relevan dengan konsep konseling, yaitu manusia ada bersama orang lain oleh karena itu manusia harus memiliki kepribadian yang eksis. Pribadi yang eksis itu menurut konsep konseling adalah pribadi yang memiliki potensi kemampuan berpikir rasional, memiliki kesadaran diri, memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, bertanggung jawab atas arah pilihan yang ditentukan sendiri, merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, dan selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri
c. Sebagai Makhluk Sosial
Manusia memiliki fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok, bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya). Manusia membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi, memiliki hati nurani (kalbu), dan mampu melakukan amal shalih.
Keterangan di atas relevan dengan konsep konseling yang mengungkapkan bahwa manusia ada merupakan bagian dari masyarakat dan dunia sosial, sehingga kita tidak berarti tanpa adanya orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, ia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), keputusan dapat ditinjau kembali apabila keputusan yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, ia selalu menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan, membuat dan menyumbang, menerima diri sendiri dengan apa adanya, dan memiliki komponen superego, yaitu kode moral dan nilai ideal yang mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah.
d. Sebagai Makhluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada. Namun ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu, mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan bertanggung jawab, berbuat atas pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik terhadap sesama manusia maupun kepada Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan), serta sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya, memiliki sikap tawakkal, serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri (qana’ah).
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu memiliki ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego, bebas dari kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan tanggungjawab, kongruensi, sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, serta tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun pengalaman itu buruk dan menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap orang lain adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima pengalaman dan bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok your are ok), signifikan dan berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang mampu memproduk lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah pribadi yang mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna mengolah lingkungan menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik.
Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.

3. Pribadi Tidak Sehat
Pribadi tidak sehat pada hakikatnya adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral, tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia, ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik, riya yaitu beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran diri dan tidak konstruktif, tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai berikut: ego tidak berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai kecemasan, tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak bertanggung jawab, inkongruen, sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, tidak mau saling menolong (ta’awun), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain, su’us zhan (berfikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah yaitu menggunjing sesama, kufur nikmat, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, gemar melakukan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu perbuatan yang cendrung hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, dan sebagainya.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang egois dan tidak mau menyumbang, memandang diri sendiri baik sedang orang lain jelek (I’m ok your are not ok), berpikiran negatif terhadap orang lain, ketidak mampuan menyesuaikan diri secara psikologis, memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengorbankan (merampas) hak orang lain.
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak bisa membangun hubungan baik dengan alam atau kosmos, dan ikut berperilaku yang bisa merusak lingkungan..
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt. yaitu ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya untuk dilaksanakan, atau tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut .
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Alah Swt.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
d. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4). Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
2. Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah lengkap dan final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.


DAFTAR PUSTAKA


Adz-Dzaky, H.B. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

Ancok, J. & Suroso, F.N. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.

As Shiddiqy, TM. Tafsir Al Qur’an Al Majied: An Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Bishop, D.R. 1992 Religius Values as Cross-Cultural Issues in Counseling. Counseling and Values, (36): 179-191,.

Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direkturat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1990.

Brian, J. Zinnbauer and Kenneth I. Pergement. 2000. Working With The Sacred: Four Approaches to Religious and Spiritual Issues in Counseling. Journal of Counseling & Development. (78): 162-170.

Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996.

Cottone, R.R. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1992.

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV / Tahun I, 1984/1985.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990.

Gania, V. 1994. Scular Psychotherapists and Religious Clients: Profesional Consideration and Recommendations. Journal of Counseling and Development. (72): 395-398.

Gilliland, B.E., James, K.R., Bowman,J.T. Theories and Strategie in Counseling and Pasychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1984.

Hall, C.H., Lindzey, G. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, INC., 1970.

Ismail, M. Shahih Al-Bukhari, Juz. 1 – 4. Istambul Turki: Al-Maktabah Al-Islami, 1979.

Kivlighan, Jr, D.M. and Shaughnessy, P. 1995.Analysis of the Development of the Working Alliance Using Hierarchical Linear Modeling. Journal of Counseling Psychology 42: 338–349.

Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994.

Madjid, N. Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.9-58). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

Muzhahiri, H. Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani. Terjemahan Ahmad Subandi: PT. Lentera Basritama, 2000.

Mujib, A. & Mudzakir, J.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Nelson-Jones. Counseling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1995.

Pidarta,M. 1999. Studi tentang Landasan Kependidikan. Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. (26): 3-15.

Rachman, B.M. Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Pemikiran Neo-Modernisme Islam Di Indonesia. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.99-141). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.

HAKEKAT PSIKOLOGI ISLAM

Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Pengertian pertama lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Psikolog di sini berperan untuk merumuskan hakekat jiwa yang proses penggaliannya didasarkan atas pendekatan spekulatif. Kelebihan pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakekat psikologi yang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkap hakekat jiwa yang menjadi objek utama kajian psikologi. Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris. Psikologi seakan-akan masih menjadi bagian dari disiplin filsafat, yang salah satu kajiannya membahas hakekat jiwa.
Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Namun pemisahan ini belum sempurna, sehingga antara disiplin filsafat dengan psikologi masih berbaur. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam wacana Psikologi Kontemporer adalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini, fokus kajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala-gejala jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakekat jiwa tersebut tidak dapat diketahui, sehingga psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya dari kalangan Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat jiwa. Mereka bahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa binatang. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.
Pengertian psikologi yang dimaksud dalam buku ini lebih cenderung pada pengertian pertama. Ada beberapa alasan mengapa pengertian pertama yang dipilih: Pertama, Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang mandiri baru memasuki proses awal. Pendekatan yang digunakan lebih mengarah pada pendekatan spekulatif, yang membicarakan hakekat mental dan kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses deduktif, yang digali dari nash (al-Qur`an dan al-Sunnah) dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan belum memasuki wilayah empiris-eksperimental; Kedua, Psikologi Kontemporer Barat dalam perkembangannya mengalami distorsi yang fundamental. Psikologi seharusnya membicarakan tentang konsep jiwa, namun justru ia mengabaikan bahkan tidak tahu-menahu tentang hakekat jiwa, sehingga ia mempelajari “ilmu jiwa tanpa konsep jiwa.” Ketiga, karena alasan ke dua di atas, psikologi kontemporer mempelajari manusia yang tidak berjiwa. Atau, menyamakan gejala kejiwaan manusia dengan gejala kejiwaan hewan, sehingga temuan-temuan dari perilaku hewan digunakan untuk memahami perilaku manusia. Atas dasar ketiga alasan di atas, penulis lebih cenderung menggunakan pengertian pertama. Pemilihan ini tidak berarti menafikan keberadaan pengertian psikologi yang lain, tetapi penulis berharap agar ada perimbangan atau bandingan dalam memilih model pengembangan disiplin psikologi. Untuk beberapa tahun mendatang, barangkali Psikologi Islam dapat mengembangkan pengertian yang ketiga, setelah kerangka konseptualnya telah mapan dan diakui secara objektif dalam perbendaharaan Psikologi Kontemporer.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Istilah ‘Ilm al-Nafs banyak dipakai dalam literatur Psikologi Islam. Bahkan Sukanto Mulyomartono lebih khusus menyebutnya dengan “Nafsiologi.” Penggunaan istilah ini disebabakan objek kajian psikologi Islam adalah al-nafs, yaitu aspek psikopisik pada diri manusia. Term al-nafs tidak dapat disamakan dengan term soul atau psyche dalam psikologi kontemporer Barat, sebab al-nafs merupakan gabungan antara substansi jasmani dan substansi ruhani, sedangkan soul atau psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia. Menurut kelompok ini, penggunaan term al-nafs dalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan doktrin ajaran Islam, sebab tidak ada satupun nash yang melarang untuk membahasnya. Tentunya hal itu berbeda dengan penggunaan istilah al-ruh yang secara jelas dilarang mempertanyakannya (perhatikan Q.S. al-Isra` ayat 85).
Penggunaan istilah ‘Ilm al-Ruh ditemukan dalam karya ‘psikolog’ Zuardin Azzaino. Istilah itu kemudian dijadikan dasar untuk membangun ‘Psikologi Ilahiah’, yaitu psikologi yang dibangun dari kerangka konseptual al-ruh yang berasal dari Tuhan. Boleh jadi Azzaino tidak mengikuti perkembangan literatur Psikologi Islam, sebab literatur yang digunakan dalam bukunya tidak satupun yang bersumber dari ’Ilm al-Nafs fi al-Islam (Psikologi Islam). Tetapi yang menarik dari tawaran Azzaino tersebut adalah bahwa ruh yang menjadi objek kajian psikologi Islam memiliki ciri unik, yang tidak akan ditemukan dalam Psikologi Kontemporer Barat. Objek kajian Psikologi Islam adalah ruh yang memiliki dimensi ilahiah (teosentris), sedangkan objek kajian Psikologi Kontemporer Barat berdimensi insaniah (antroposentris). Karena perbedaan yang mendasar inilah maka Azzaino terpaksa menggunakan term khusus untuk menentukan ciri unik Psikologi Islam.
Menanggapi kedua polemik ini, penulis lebih cenderung menggunakan istilah ‘Ilm al-Nafs. Selain istilah itu lebih populer dan masuk dalam perbendaharaan literatur psikologi, secara ideologis pembahasan objek al-nafs tidak bertentangan dengan nash. Hanya saja yang patut dipertimbangkan adalah kritikan Malik B. Badri bahwa Psikologi Islam kini nyaris masuk dalam liang Biawak, yang sulit keluar darinya. Kritikan itu nampaknya dapat ‘ditangkap’ dengan cermat oleh Azzaino, sehingga ia mencoba mencari alternatif peristilahan baru. Dengan demikian, kebolehan menggunakan istilah ‘Ilm al-Nafs dengan catatan tidak menyalahi kerangka filosofis Psikologi Islam.
Hakekat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Hakekat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok; Pertama, bahwa psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, Kebudayaan Islam, dan sebagaianya. Penempatan kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memilili pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakekat jiwa), epistimologi (bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melalui kerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti Psikopatologi Islam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi Sosial Islam, dan sebagainya.
Kedua, bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh, al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fu’ad, al-sirr, al-fithrah, dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Qur’an, al-Sunnah, serta dari khazanah pemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apa hakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar)-nya. Dari sini nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Swt.
Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan demikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuasa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasiangan, kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakan telah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-ilmiah adalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitas suatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri. Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika orang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta mengklaim keabsahan dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yang sama, yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.
Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanya berijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktek kedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak di an¬tara metode dan teknik yang dikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah normatif yang sudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan psikologi kepribadan dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan dis¬kursus-diskursus lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa Psikologi Kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikuti aturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka teruji secara empirik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, maka pemikiran mereka diakui sebagai disiplin yang objektif.
Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untuk ‘mengintip’ wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa Psikologi Barat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalu mereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis satu bab khusus untuk ‘Psikologi Timur’. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya dari psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.
Frank. J. Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto, judul asli, “Dictionary of Key in Psychology”,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John Dol¬lard, Neal E. Miller, B.F. Skinner dari Psiko-operan yang tidak begitu tertarik dengan persoalan struktur kejiwaan manusia yang menetap dan relatif stabil. Mereka lebih berminat mempelajari kebia¬saan-kebiasaan yang dapat mengakibatkan respons-respons ter¬tentu yang pada gilirannya membangkitkan stimulus-stimulus yang memiliki sifat pendorong. Atau berminat pada tingkah laku yang dapat diubah. Lihat!, Calvin Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Sifat dan Psikobehavioristik, diterjmahkan oleh Yustinus, judul asli; “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 320-221,326Lihat! “Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi” (1986) karya Sukanto Mulyomartono, kemudian disempurnakan bersama A. Dardiri Hasyim dengan judul “Nafsiologi; Sebuah Kajian Analitik” (1995); (2) “Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islâmiy” (1979) karya Hasan Muhammad al-Syarqawiy; (3) “‘Ilm al-Nafs al-Ma’âshir fi Dhaw’i al-Islâm” (1983) karya Muhammad Mahmud Mahmud; (4) “’Ilm al-Nafs al-Islamiy” (1989) karya Ma’ruf Zarif; dan (5) “al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs” (1982) karya Muhammad Usman Najati.Asas-asas Psikologi Ilahiah; Sistema Mekanisme Hubungan antara Roh dan Jasad (1990)” karya H.S. Zuardin Azzaino.Maksud keunikan di sini terutama menyangkut masalah-masalah yang mendasar (kerangka filosofis) dan bukan masalah-masalah teknis-operasional. Psikologi Islam tidak akan mentolerir masalah-masalah yang fundamenatal, sebab jika hal itu diabaikan maka mengakibatkan pengkaburan antara hakekat Psikologi Islam dengan Psikologi Kontemporer Barat. Sedangkan masalah-masalah teknik-operasional, Islam tidak banyak menyinggungnya, sehingga tidak ada salahnya jika mengadopsi dari yang lain. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam tidak menerima teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia dengan id, ego, dan super ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agama dinyatakan sebagai delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktur al-ruh yang berdimensi ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakan bentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia. Demikian juga masalah mimpi. Freud dan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi hanyalah produk psikis, sedangkan dalam Islam, mimpi boleh jadi berasal dari produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dari Tuhan dan syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti ia tidak mempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima oleh Nabi melalui mimpi. Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik analisis untuk keperluan terapi, maka tidak ada salahnya jika hal itu diadopsi dari teori Freud atau psikolog yang lain.Penjelasan masing-masing term tersebut dapat dilihat dalam pembahasan struktur dan dinamikanya.Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), terj. Yustinus, judul asli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 20-21Di antaranya: (1) Shafii, Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and Psychotherapy, (1985); (2) Hoesen Nasr (ed.), Islamic Spirituality: Foundation, (1989); dan (3) Ronald Alan Nicholson, Fi al-Tashawwuf al-Islami wa Tarihihi, terj. Abu al-‘ala al-Afifi (1969). alvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), terj. Yustinus, judul asli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 222

Sejarah Psikologi Islami

Dimulai pada tahun 1978 dengan berlangsungnya simposium internasional tentang Psikologi dan Islam. Disusul dengan terbitnya sebuah buku kecil karya Malik. B. Badri yaitu The Dilemma of Muslim Psychologist.

Fase-fase perkembangan Psikologi Islami
1. Terpesona
Perasaan kagum terhadap teori psikologi modern
2. Kritik
Kritik besar-besaran terhadap psikologi modern
3. Perumusan
Membuat konsep psikologi yang berwawasan Islam
4. Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengkaji fenomena keberagamaan dalam Islam dengan metode penelitian yang dilakukan oleh psikologi modern
5. Penerapan
Hasil penelitian yang dilakukan dipergunakan untuk kemajuan umat Islam

Bentuk pengkajian yang dilakukan dalam Psikologi Islami
1. Psikologi menjelaskan Islam
Ilmu psikologi dilakukan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada dunia Islam baik sosial, maupun spiritual. Namun menemui kendala karena tidak setiap fenomena yang muncul bisa dikupas dengan ilmu Psikologi.
2. Perbandingan psikologi dan Islam
Membandngkan antara teori Psikologi dengan konsep Islam tentang manusia
3. Penilaian Islam terhadap Psikologi
Menggunakan sudut pandang Islam terhadap konsep psikologi modern, hal ini dilakuakn dengan alasan bahwa Islam adalah sumber pedoman dan tata nilai kehidupan manusia.

Upaya merumuskan Psikologi Berdasarkan pandangan dunia Islam
a. Memahami psikologi secara
· Kauniyah : Melihat kejadian alam
· Kauliyah : Melihat Dalil Al-Quran dan Hadits
b. Melakukan objektifikasi yaitu mengubah pandangan yang normatif menjadi pandangan yang objektif atau bisa diukur
c. Pola-pola dalam perumusan Psikologi Islam
Bertitik tolak pada Al-Quran dan Hadits, menggunakannya sebagai rujukan. Cara:
a. Memahami istilah tematik yang ada dalam Al-Quran dan Hadits
b. Memahami secara keseluruhan tentang manusia menurut pandangan Al-Qur’an dan Hadits
Perumusan dari khasanah Islam tentang manusia
Mengacu konsep-konsep yg terdapat pada ilmu-ilmu Keislaman yang dikembangkan juga dari Al-Quran dan hadits
Mengambil inspirasi dari hazanah Psikologi modern dan membahasnya dengan pandangan Islam
Mengambil teori psikologi modern sebagai inspirasi untuk mengkaji persoalan yang sama dalam konsep Islam
Merumuskan konsep manusia berdasarkan pribadi yang melaksanakan ajaran Islam
Metode yang dipakai adalah dengan menggambarkan dan menggambarkan pribadi yang menjalani kehidupan secara Islami

materi kuliah Manusia perspektif islam

Manusia menurut Pandangan Filosof Yunani

Pandangan para filosof Yunani diambil karena pengaruh dari para filosof tersebut sangat mempengaruhi pendapat para filosof Islam dalam memandang manusia, terutama pendapat dari Aristoteles (An-Najar 2001). Secara global Aristoteles telah mengumpukan beberapa perndapat fillosof Yunani yang terrdahulu tentang jiwa, dengan menerangkan perbedaan antara makhluk hidup dan makhluk yang tidak hidup.

Socrates
Misalnya pendapat Socrates yang dilansir oleh Aristoteles mengatakan bahwa jiwa merupakan wujud ruhani yang lepas, dimana jika wujud ruhani itu diabaikan atau ditinggalkan niscaya akan menimbulkan kebodohan dan akan memproduksi pemikiran yang mandul dan rusak. Manusia dapat menghilangkan kebodohannya apabila berpikir tentang jiwa, mengenali jiwa, menurutnya pengenalan jiwa ini merupakan pengetahuan yang pertama kali harus dilakukan oleh manusia. Socrates juga meyakini kekekalan jiwa dan kefanaan atau kerusakan jasad. Untuk mempertahankan pedapatnya ini Socrates lebih mengutamakan dihukum gantung daripada mengubah pendapatnya.

Plato
Dari pendapat Socrates tentang jiwa ini kemudian disempurnakan oleh Plato. Plato berpendapat bahwa manusia pada dasarnya tidak akan mampu mengenal jiwanya kecuali ia dalam kondisi bebas dari dosa dan segala bentuk kejahatan, dimana perbuatan tersebut disebabkan oleh keterkaitan jiwa dangan jasad. Pato lebih lanjut berpendapat jiwa itu adalah substansi yang indenenden dari anggota tubuh dan hubungan diantara keduanya, yaitu antara jiwa dan jasad bagaikan hubungan antara nahkoda dengan perahu, dimana nahkoda berfungsi sebagai pengatur jalannya perahu, dan menjaganya di tengah-tengah hembusan gelombang.
Plato juga mengatakan bahwa jiwa itu berada diantara dua alam, yaitu alam tinggi (alam ide) dan alam bawah (alam rasa). Menurutnya kedua alam itu pada awalnya adalah menyatu dalam kesatuan, akan tetapi setelah alam ide tersebut jatuh ke tanah, mengakibatkan terpecahnya alam tersebut menjadi beberapa bagian. Sejak itu pula jiwa telah turun ke alam rendah yaitu alam perasaan. Dan di atas alam rendah tersebut jiwa manusia selalu berusaha untuk menyucikan dirinya. Sampai mampu kembali ke alam awalnya, yaitu alam tinggi (alam ide). Cara yang harus ditempuh untuk kembali ke alam ide dengan melepaskan diri dari keterikatan jasad dan mengenali jiwa tersebut.
Plato meyakini tentang kekekalan jiwa dengan bukti tentang adanya gerak dan kehidupan yang menjadi dasar dari tabiat dan jiwa seseorang. Gerak dan kehidupan merupakan substansi yang khusus bagi jiwa dan di saat gerak dan jiwa ini berada dalam jasad maka bermakna: bahwa jasad itu hidup dan pada saat itu jiwa menjadi sumber gerak jasad manusia. Sesungguhnya gerak dari jasad itu bukanlah gerak yang asli, karena fungsi jasad hanya sebagai signal dari gerak jiwa. Sebaliknya jika jiwa itu menginggalkan jasad maka berarti kerusakan jasad terjadi dan sekaligus merupakan perpisahan dengan jasad, dan jiwa menjadi kembali ke alam ide.

Aristoteles
Aristoteles memberikan definisi jiwa sebagai berikut: jiwa merupakan kesempurnaan awal terhadap jasmani alami menuju suatu kehidupan yang memiliki kekuatan. Definisi didasarkan atas teorinya tentang alam, dimana Aristoteles membedakan antara materi sesuatu dengan bentuknya, serta berdasarkan persepsinya tentang alam dan geraknya. Aristoteles menyebutkan bahwa kata psyche yang sering diterjemahkan dengan jiwa pada dasarnya memiliki makna yang sangat luas. Tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa, hewan demikian juga sebab benda-benda tersebut merupakan benda hidup. Tumbuh-tumbuhan tidak memiliki kekuatan kecuali kekuatan untuk makan dan keturunan. Binatang disamping memiliki kekuatan di atas juga memiliki kekuatan pengenalan, syahwat dan gerak. Sedangkan manusia disamping memiliki kekuatan di atas juga memiliki kekuatan untuk berpikir.
Manusia yang telah mati tidak memiliki jiwa, bukan merupakan manusia dalam arti yang sempurna, maka dari itu yang dinamakan manusia adalah yang memiliki jiwa sebagai makhluk hidup. Adapun hubungan antara jasmani dengan jiwa merupakan hubungan antara benda dengan bentuk, atau hubungan antara prime matter dengan form. Jiwa adalah bentuk dari badan, sebagaimana penglihatan bentuk dari mata. Apabila penglihatan putus dari mata, maka mata tidak disebut dengan mata yang berfungsi untuk melihat, kecuali hanya sebuah nama saja. Atau bukan mata yang hakiki seperti mata pada sebuah patung.
Jiwa sebagai kekuatan hidup tidak mungkin terdapat di dalam badan apapun dan tidak terdapat di dalam setiap badan. Karena sebuah form atau bentuk menghendaki adanya sebuah benda yang sesuai dengan form tersebut. Badan tidak akan mampu untuk mendapatkan kehidupan, kecuali badan yang memiliki anggota yang cocok. Dan badan seperti ini harus memiliki kekuatan, baik itu yang terdapat pada hewan ataupun tumbuhan hidup. Sedangkan jiwa terkait dengan perbuatan badan.

materi kuliah manusia perspektif islam

Manusia dalam Perspektif Psikologi

Dalam literatur psikologi pada umumnya para ahli ilmu ini berpendapat bahwa penentu perilaku utama manusia dan corak kepribadian adalah keadaan jasmani, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan. Determinan tri dimensional ini (organo biologi, psikoedikasi, dan sosiokultural) merupakan determinan yang banyak dianut oleh ahli psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini unsur ruhani sama sekali tidak masuk hitungan karena dianggap termasuk penghayatan subjektif semata-mata.
Selain itu psikologi apapun alirannya menunjukkan bahwa filsafat yang mendasarinya bercorak antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia. Pandangan ini mengangkat derajat manusia teramat tinggi ia seakan-akan memiliki kausa prima yang unik, pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.
Sampai dengan penghujung abad ini terdapat empat aliran besar psikologi, yakni : Psikoanalisis, psikologi Perilaku, Psikologi Humasnistik, Psikologi Transpersonal. Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang yang berlainan, dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.

Psikoanalisis
Pendiri psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856-1839), seorang neurolog berasal dari Austria, keturunan Yahudi. Teori yang dikembangkan pengalaman menangani pasien, freud menenmukan ragam dimensi dan prinsip-prinsip mengenai manusia yang kemudian menyusun teori psikologi yang sangat mendasar, majemuk, dan luas implikasinya dilingkungan ilmu sosial, humaniora, filsafat, dan agama.
Menurut freud kepribadian manusia terdiri dari 3 sistem yaitu id (dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif) yang berinteraksi satu sama lain. Id merupakan potensi yang terbawa sejak lahir yang berorientasi pada kenikmatan (pleasure principle), menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan, dan menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Ego berusaha memenuhi keinginan dari id berdasarkan kenyataan yang ada (Reality principle). Sedangkan superego menuntut adanya kesempurnaan dalam diri dan tuntutan yang bersifat idealitas.
Dalam diri manusia ada 3 tingkatan kesadaran yaitu alam sadar, alam tidak sadar, dan alam prasadar. Alam kesadaran manusia digambarkan freud sebagai sebuah gunung es dimana puncaknya yang kecil muncul kepermukaan dianggap sebagai alam sadar manusia sedangkan yang tidak muncul ke permukaan merupakan alam ketidaksadaran yang luas dan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Dan diantara alam sadar dan alam ketidaksadaran terdapat alam prasadar. Dengan metode asosisi bebas, hipnotis, analisis mimpi, salah ucap, dan tes proyeksi hal-hal yang terdapat dalam alam prasadar dapat muncul ke alam sadar.

Psikologi Perilaku (behavior)
Aliran ini berpendapat bahwa perilaku manusia sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan luar dan rekayasa atau kondisioning terhadap manusia tersebut. Aliran ini mengangap bahwa manusia adalah netral, baik atau buruk dari perilakunya ditentukan oleh situasi dan perlakuan yang dialami oleh manusia tersebut. Pendapat ini merupakan hasil dari eksperimen yang dilakukan oleh sejumlah penelitian tentang perilaku binatang yang sebelumnya dikondisikan.
Aliran perilaku ini memberikan kontribusi penting dengan ditemukannya asas-asas perubahan perilaku yang banyak digunakan dalam bidang pendidikan, psikoterapi terutama dalam metode modifikasi perilaku. Asas-asas dalam teori perilaku terangkum dalam hukum penguatan atau law of enforcement, yakni :
a. Classical Condtioning
Suatu rangsang akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang tersebut sering diberikan bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut. Misalnya bel yang selalu dibunyikan mendahului pemberian makan seekor anjing lama kelamaan akan menimbulkan air liur pada anjing itu sekalipun tidak diberikan makanan. Hal ini terjadi karena adanya asosiasi antara kedua rangsang tersebut.
b. Law of Effect
Perilaku yang menimulkan akibat-akibat yang memuaskan akan cenderung diulang, sebaliknya bila akibat-akiat yang menyakitkan akan cenderung dihentikan.
c. Operant Conditioning
Suatu pola perilaku akan menjadi mantap apabila dengan perilaku tersebut berhasil diperoleh hal-hal yang dinginkan oleh pelaku (penguat positif), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang diinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku tersebut mengakibatkan hal-hal yang tak menyenangkan (hukuman), atau mangakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku (penghapusan).
d. Modelling
Munculnya perubahan perilaku terjadi karena proses dan penaladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi (model)
Keempat asas perubahan perilaku tersebut berkaitan dengan proses belajar yaitu berubahnya perilaku tertentu menjadi perilaku baru.

Psikologi Humanistik
Berlainan dengan psikoanalisis yang memandang buruk manusia dan behavior yang memandang manusia netral, psikologi humanistik berasumsi bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya. Aliran ini memfokuskan telaah kualitas-kualitas insani. Yakni kemampuan khusus manusia yang ada pada manusia, seperti kemampuan abstraksi, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan diri, dan rasa estetika. Kualitas ini khas dan tidak dimiliki oleh makhluk lain. Aliran ini juga memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri. Asusmsi ini meunjukkan bahwa manusia makhluk yang sadar dan mandiri, pelaku yang aktif yang dapat menentukan hampir segalanya.
Salah satu kelompok aliran ini adalah logoterapi yang dikembangkan oleh Viktor Frankl. Logoterapi mengatakan bahwa manusia terdiri dari 2 komponen dasar yaitu dimensi raga (somatis), dan dimensi kejiwaan (psikis) atau dimensi neotic atau sering disebut dengan dimensi keruhanian (spiritual). Menurut Frankl bahwa arti keruhanian ini tidak mengacu pada agama tetapi dimensi ini dianggap inti kemanusiaan dan merupakan sumber dari makna hidup, serta potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa yang selama ini terabaikan oleh telaah psikologi sebelumnya. Logoterapi mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai satu kesatuan dari raga-jiwa-ruhani.
Manusia memiliki hasrat untuk mencari makna hidup, bila seseorang berhasil menemukan makna hidupnya maka hidupnya akan bahagia demikian sebaliknya bila tidak menemukannya maka hidupnya akan hampa. Dan menurut frankl kehilangan makna hidup ini banyak diaami oleh orang-orang yang hidup dalam dunia modern saat ini.

Psikologi Transpersonal
Aliran ini dikembangkan oleh tokoh dari psikologi hmanistik antara lain : Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles Tart. Sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan dari aliran humanistik. Sebuah definisi yang dikemukakan oleh Shapiro yang merupakan gaubungan dari berbagai pendapat tentang psikologi transpersonal : psikologi transpersonal mengkaji tentang potensi tertinggi yang dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi.
Rumusan di atas menunjukkan dua unsur penting yang menjadi telaah psikologi transpersonal yaitu potensi-potensi yang luhur (potensi tertinggi) dan fenomena kesadaran manusia. The altered states of consciousness adalah pengalaman seorang melewati kesadaran biasa misalnya pengalaman memasuki dimensi kebatinan, keatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi. Demikian pula dengan potensi luhur manusia menghasilkan telaah seperti extra sensory perception,transendensi diri, ectasy , dimensi di atas keadaran, pengalalman puncak, daya batin dll.
Psikologi transpersonal seperti halnya psikologi humanistik menaruh perhatian pada dimensi spiritual msnusia yang ternyata mengandung potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Perbedaannya dengan psikologi humanistik adalah bila psikologi humanistik menggali potensi manusia untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-ransendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual ini.
Kajian transpersonal ini menunjukkan bahwa aliran ini mencoba mengkaji secara ilmiah terhadap dimensi yang selama ini dianggap sebagai bidang mistis, kebatinan, yang dialami oleh kaum agamawan (kyai, pastur, bikhu) atau orang yang mengolah dunia batinnya. Hasil dari beberapa penelitian tranpersonal menunjukkan bahwa bidang kebatinan bisa menjadi bidang ilmu dan dapat dikaji secara ilmiah sehingga hal tersebut penting untuk di kaji lebih dalam dan tidak dianggap sebagai suatu bid’ah, khurafat, ataupun syirik yang akhirnya membelenggu ilmuwan psikologi untuk mempelajari potensi yang tertinggi ini.

materi kuliah emosi kognisi dan sosial

Prinsip-prinsip perkembangan

Pegertian perkembangan berbeda dengan pertumbuhan, meskipun keduanya tidak berdiri sendiri. pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yaitu peningkatan ukuran dan struktur. Tidak saja anak menjadi lebih besar secara fisik, tetapi ukuran dan struktur rgandalam otak meningkat. Akibat adanya pertumbuhan otak anak memiliki kemampuan yang lebih besar untuk belajar, mengingat, dan berpikir. Sedangkan perkembangan berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif yang merupakan deretan progresif dari perubahan yang teratur dan koheren. Progresif menandai bahwa perubahannya terarah, membimbing mereka maju dan bukan mundur. Teratur dan koheren menunjukkan adanya hubungan nyata antara perubahan yang sebelumnya dan sesudahnya.
Pada bab ini akan diterangkan 6 prinsip perkembangan menurut Hurlock (1991). Prinsip-prinsip ini merupakan ciri mutlak dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh seorang anak, kesepuluh prinsip tersebut adalah :
a. Adanya perubahan.
Manusia tidak pernah dalam keadaan statis dia akan selalu berubah dan mengalami perubahan mulai pertama pembuahan hingga kematian tiba. Perbuhan tersebut bisa menanjak, kemudian berada di titik puncak kemudian mengalami kemunduran.
Selama proses perkembangan seorang anak ada beberapa ciri perubahan yang mencolok, yaitu ;
Perubahan ukuran
Perubahan fisik yang meliputi : tinggi, berat, organ dalam tubuh, perubahan mental. Perubahan mental meliputi : memori, penalaran, persepsi, dan imajinasi.
Perubahan proporsi
Misalnya perubahan perbandingan antara kepala dan tubuh pada seorang anak.
Hilangnya ciri lama
Misalnya ciri egosentrisme yang hilang dengan sendirinya berganti dengan sikap prososial.
Mendapatkan ciri baru
Hilangnya sikap egosentrisme anak akan mendapatkan ciri yang baru yaitu sikap prososial.
b. Perkembangan awal lebih kritis daripada perkembangan selanjutnya.
Lingkungan tempat anak menghaiskan masa kecilnya akan sangat berpengaruh kuat terhadap kemampuan bawaan mereka. Bukti-bukti ilmiaih telah menunjukkan bahwa dasar awal cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap dari perilaku anak sepanjang hidupnya, terdapat 4 bukti yang membenarkan pendapat ini.
Hasil belajar dan pengalaman merupakan hal yang dominan dalam perkembanga anak
Dasar awal cepat menjadi pola kebiasaan, hal ihi tentunya akan berpengaruh sepanjang hidup dalam penyesuaian sosial dan pribadi anak
Dasar awal sangat sulit berubah meskipun hal tersebut salah
Semakin dini sebuah perubahan dilakukan maka semakin mudah bagi seorng anak untuk mengadakan perubahan bagi dirinya.
c. Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar
Perkembangan seorang anak akan sangat diperngaruhi oleh proses kematangan yaitu terbukanya karateristik yang secara potensial sudah ada pada individu yang berasal dari warisan genetik individu. Seperti misalnya dalam fungsi filogentik yaitu mmerangkak, duduk kemudian berjalan. Sedangkan arti belajar adalah perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha. Melalui belajar ini anak anak memperoleh kemampuan menggunakan sumber yang diwariskan. Hubugan antara kematangan dan hasil belajar ini bisa dicontohkan pada saat terjadinya masa peka pada seorang anak, bila pembelajaran itu diberikan pada saat masa pekanya maka hasil dari pembelajaran tersebut akan cepat dikuasai oleh anak, demikian pula sebaliknya.
d. Pola perkembangan dapat diramalkan
Dalam perkembangan motorik akan mengikuti hukum chepalocaudal yaitu perkembangan yang menyebar keseluruh tubuh dari kepala ke kaki ini berarti bahwa kemajuan dalam struktur dan fungsi pertama-tama terjadi di bagian kepala kemudian badan dan terakhir kaki. Hukuk yang kedua yaitu proxmodistal perkembangan dari yang dekat ke yang jauh. Kemampuan jari-jemari seorang anak akan didahului oleh ketrampilan lengan terlebih dahulu.
e. Pola perkembangan mempunyai karateristik yang dapat diramalkan
Karateristik tertentu dalam perkembangan juga dapat diramalkan, ini berlaku baik untuk perkembangan fisik maupun mental. Semua anak mengikuti pola perkembangan yang sama dari saatu tahap menuju tahap berikutnya. Bayi berdiri sebelum dapat berjalan. Menggambar lingkaran sebelum dapat menggambar segi empat. Pola perkembangan ini tidak akan berubah sekalipun terdapat variasi individu dalam kecepatan perkembangan.
Pada anak yang pandai dan tidak pandai akan mengikuti urutan perkembangan yang sama seperti anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Namun ada perbedaan mereka yang pandai akan lebih cepat dalam perkembangannya dibandingkan dengan yg memiliki kecerdasan rata-rata, sedangkan anak yang bodoh akan berkembanga lebih lambat.
Perkembangan bergerak dari tanggapan yang umum menuju tanggapan yang lebih khusus. Misalnya seorang bayi akan mengacak-acak mainan sebelum dia mampu melakukan permainan itu dengan jari-jarinya. Demikian juga dengan perkembangan emosi, anak akan merespon ketekutan secara umum pada suatu hal yang baru namun selanjutnya akan merepon ketakutan secara khusus pada hal yang baru tersebut.
Perkembangan berlangsung secara berkesinambungan sejak dari pembuahan hingga kematian, namun hal ini terjadi dalam berbagai kecepatan, kadang lambat tapi kadang cepat. Perbedaan kecepatan perkembangan ini terjadi pada setiap bidang perkembangan dan akan mencapai puncaknya pada usia tertentu. Seperti imajinasi kreatif akan menonjol di masa kanak-kanak dan mencapai puncaknya pada masa remaja. Berkesinambungan memiliki arti bahwa setiap periode perkembangan akan berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya.
f. Terdapat perbedaan individu dalam perkembangan
Walaupun pola perkembangan sama bagi semua anak, setiap anak akan megikuti pola yang dapat diramalkan dengan cara dan kecepatanya sendiri. Beberapa anak berkembang dengan lancar, bertahap langkah demi langkah, sedangkan lain bergerak dengan kecepatan yang melonjak, dan pada anak lain terjadi penyimpangan. Perbedaan ini disebabkan karena setiap orang memiliki unsur biologis dan genetik yang berbeda. Kemudian juga faktor lingkungan yang turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan seorang anak. Misalnya perkembangan kecerdasan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti kemampuan bawaan, suasana emosional, apakah seorang anak didorong untuk melakukan kegiatan intelektual atau tidak. Dan apakah dia diberi kesempatan untuk belajar atau tidak.
Selain itu meskipun kecepatan perkembangan anak berbeda tapi pola perkembangan tersebut memiliki konsistensi perkembangan tertentu. Pada anak yang memiliki kecerdasan rata-rata akan cenderung memiliki kecerdasan yang rata-rata pula ketika menginjak tahap perkembangan berikutnya.
Perbedaan perkembangan pada tiap individu mengindikasikan pada guru, orang tua, atau pengasuh untuk menyadari perbedaan tiap anak yang diasuhnya sehingga kemampuan yang diharapkan dari tiap anak seharusnya juga berbeda. Demikian pula pendidikan yang diberikan harus bersifat perseorangan.
g. Setiap tahap perkembangan memiliki bahaya yang potensial
Pola perkembangan tidak selamanya berjalan mulus, pada setiap usia mengandung bahaya yang dapat mengganggu pola normal yang berlaku. Beberapa hal yang dapat menyebabkan antara lain dari lingkungan dari dari anak itu sendiri. Bahaya ini dapat mengakibatkan terganggunya penyesuaian fisik, psikologis dan sosial. Sehingga pola perkembangan anak tidak menaik tapi datar artinya tidak ada peningkatan perkembangan. Dan dapat dikatakan bahwa anak sedang mengalami gangguan penyesuaian yang buruk atau ketidakmatangan.
Peringatan awal adanya hambatan atau berhentinya perkembangan tersebut merupakan hal yang penting karena memungkinkan pengasuh (Orangtua, guru dll) untuk segera mencari penyebab dan memberikan stimulasi yang sesuai.

Tafakur Sebagai Sarana Transendensi

Sepanjang zaman, manusia bertanya “siapakah Aku?” tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik ke dalam, “wujud spiritual, ruh”. Praktik-praktik keagamaan mengajarkan kita untuk menyambungkan diri kita dengan bagian terdalam ini. Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial agama dan mengajarkan praktik-praktik untuk mengantarkan manusia pada kesadaran spiritual, di atas id, ego, dan superego.
Islam sebagai agama yang besar memberikan banyak metode untuk mencapai kualitas manusia yang tinggi. Islam tidak hanya memperhatikan aspek luarnya saja (eksoterik) seperti rukun sholat, zakat, haji namun juga sisi isoteriknya seperti pembinaan hati, ketakwaan, kesabaran, keikhlasan, dan kepasrahan. Dengan pembinaan sisi isoterik ini Islam mampu mengantarkan seseorang memiliki keuletan, keberanian, dan ketenangan yang luar biasa dalam menghadapi permasalahan hidup (Hamdani, 1989)
Bertafakur merupakan salah satu cara untuk lebih mendalami ajaran-ajaran isoterik Islam. Dimana dalam bertafakur ini seseorang diajak memahami sesuatu kejadian tidak hanya sebatas empiris tapi lebih dari itu, pemahaman secara transendental (An-Najar, 2001).
Dalam psikologi, tafakur sering dikaitkan dengan aktifitas kognitif yaitu berpikir namun dalam bertafakur tidak hanya sebatas berpikir saja melainkan juga aktivitas afektif. Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur.

Tafakur
Bertafakur tentang ciptaan Allah SWT merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah SWT di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali Imron ayat 190-191, Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor waktu dan ruang. Tafakur merupkan ibadah yang bebas. Seorang mukmin bebas dan merdeka untuk melihat dan berimajinasi, tafakur merupakan pengembaraan pikiran intuitif yang dapat menghidupkan dan menyinari mata hati ketika pikiran menerobos dinding-dinding tanda kekuasaan Allah (Badri, 1989).
Sebagaimana kegiatan berpikir adalah kunci kebaikan dan amal saleh, ia juga merupakan pangkal segala perbuatan maksiat lahir dan batin. Oleh karena itu hati yang selalu merenung atau bertafakur tentang ketinggian dan keagungan Allah serta selalu memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena ia memiliki kepekaan dan ketajaman sebagai hasil zikir dan tafakurnya .
Dalam proses tafakur seorang mukmin akan memanfaatkan pengalaman-pengalaman lamanya dan menghubungkannya dengan persepsinya terhadap segala ciptaan yang sedang ia renungkan, melalui rumusan bahasa yang ia digunakan. Dia menghubungkan persepsi yang didapatinya dari tafakurnya itu dengan gambaran lamanya, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif untuk hidup di kemudian hari. Semua ini berproses dengan penuh cinta, rasa takut, dan tanggungjawab kepada Allah SWT. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali (dalam Badri 1989) menegaskan bahwa tafakur adalah menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang timbulnya pengetahuan yang ketiga. Dalam hal ini dapat penulis contohkan, ada seseorang yang begitu mementingkan kehidupan dunia, tetapi ia ingin membuktikan bahwa kehidupan akhirat lebih utama dan harus didahulukan. Pertama, ia harus mengetahui bahwa yang lebih kekal adalah yang lebih penting. Kedua, bahwa akhirat itu lebih kekal. Dari kedua pengetahuan ini akan didapatkan pengetahuan ketiga, yaitu akhirat lebih penting. Jadi, pengetahuan baru akan muncul bila ada pengembangan dua premis pengetahuan sebelumnmya.
Seseorang yang memiliki pengetahuan yang keliru atau kurang memadai tingkat keilmuannya dapat mengakibatkan seseorang menjadi sesat atau tidak mendapatkan apa-apa dalam bertafakur. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah akan kesulitan dalam menafsirkan beberapa kejadian alam semesta, bisa jadi musibah yang dia terima merupakan kemarahan Allah atas dirinya, padahal musibah itu bisa jadi pelajaran bagi dirinya. Tafakur dasarnya adalah ilmu sehingga Islam menganjurkan untuk terus menerus mencari ilmu sebagai bahan tafakurnya.

a. Fase-fase dalam bertafakur
Menurut Badri (1989) perwujudan tafakur melalui 4 fase yang saling berkait yaitu :
1. Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indera lainnya
2. Tadlawuk artinya pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah dari apa yang dilihat atau didengar.
3. Penghubung antara perasaan kekaguman akan keindahan dengan pencipta yang Mahaagung
4. Syuhud artinya seseorang yang bertafakur, hatinya terbuka untuk menyaksikan keagungan Allah dan dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan. Pada fase ini setiapkali pandangan tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya adalah pencipta-Nya dan segala sifat keagungan-Nya.
Dari tahapan tafakur diatas secara jelas dapat penulis terangkan sebagai berikut : jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang inderawi menuju rasa kekaguman (tadlawuk) di mana pada fase ini adalah fase bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ia berpindah menuju sang pencipta dengan penuh kekhusyukan sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Untuk menuju fase selanjutnya seseorang harus membiasakan dalam bertafakur sehingga seseorang tersebut melihat semua yang ada di sekitarnya menjadi motivasi berfikir dan bertafakur yang pada akhirnya akan melahirkan sikap perasaan keagungan akan Tuhan.

b. Perbedaan Individu dalam Bertafakur
Kualitas tafakur seseorang dengan orang lain pada suatu saat akan berbeda hal tersebut menurut Badri (1989) disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Kedalaman iman.
Kedalaman pikiran dan renungan pertama kali bergantung pada derajat iman seseorang dan hubungan dia dengan Allah. Ini merupakan hal pribadi yang hanya diketahui oleh Allah dan orang itu. Tafakur yang dilakukan dalam kondisi emosional-spiritual yang tinggi, semakin mudah baginya untuk mencapai i’tibar (mengambil pelajaran). Pada kondisi ini seseorang berada antara zikir dan fikir, keadaan emosional semacam ini dapat terus memuncak pada tingkatan yang lebih tinggi.
2. Kemampuan memusatkan pikiran
Tafakur membutuhkan daya konsentrasi terhadap objek tafakurnya. Seseorang yang memiliki daya konsentrasi yang kuat dan tahan lama akan mendapatkan pencerahan lebih banyak dan lebih mendalam.
3. Kondisi emosional dan rasional
Tafakur memerlukan ketenangan, ketentraman jiwa, serta kesehatan fisik serta psikologis. Seseorang yang sedang mengalami gelisah, sedih, ketakutan, atau mengalami gangguan-gangguan saraf lainnya tidak dapat berpikir dan bertafakur dengan tajam dan penuh konsentrasi
4. Faktor lingkungan
Lingkungan yang tidak bersih, terlalu ramai, sesak tidak kondusif untuk seseorang yang sedang melakukan tafakur dan berkonsentrasi. Kesibukan dalam keseharian juga sangat mempengaruhi terhadap kemampuan bertafakur.
5. Bimbingan
Seseorang yang berniat untuk meningkatkan kualitas kejiwaannya harus dibimbing oleh seorang yang sudah berkualitas kejiwaannya juga. Menurut Imam Al-Jauziah cahaya atau nur akan melimpah dari seorang yang jiwanya berkualitas, baik dengan berguru kepadanya atau sekedar bergaul dengannya. Bimbingan ini sangat penting, sebab tafakur membutuhkan premis-premis yang benar, bila premisnya saja sudah salah maka hasil sintesanya pun akan salah juga dan bila ini berlanjut terus maka orang tersebut akan tersesat.
6. Objek tafakur
Dalam memilih objek tafakur sebaiknya memilih objek yang mampu diolah oleh kemampuan kognitifnya, semakin abstrak objeknya maka semakin sulit pula untuk mendapatkan manfaat dari tafakur tersebut.

Psikologi Transpersonal
Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian yang dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal pengalaman spiritual dan kecerdasan spiritual (Zohar, 2000).
Menurut Maslow pengalaman keagamaan meliputi peak experience, plateu, dan farthest reaches of human nature. Oleh karena itu psikologi belum sempurna sebelum memfokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Maslow menulis (dalam Zohar, 2000) , “I should say also that I consider Humanistic, Third Force Psychology, to be trantitional, a preparation for still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman, centered in the cosmos rather than in human needs and interest, going beyond humanness, identity, self actualization, and the like”.
Psikologi transpersonal lebih menitikberatkan pada aspek-aspek spiritual atau transendental diri manusia. Hal inilah yang membedakan konsep manusia antara psikologi humanistik dengan psikologi transpersonal. McWaters (dalam Nusjirwan, 2001) membuat sebuah diagram yang berbentuk lingkaran dimana setiap lingkaran mewakili satu tingkat berfungsinya manusia dan tingkat kesadaran diri manusia.

Keterangan:

PERSONAL
1
Fisikal : berfungsinya panca indera
2
Emosional : kasih sayang, kemarahan, kesedihan dst
3
Intelek : berpikir
4
Pengintegrasian pribadi kapasitas pencapaian kesempurnaan di dunia

TRANSPERSONAL
5
Intuisi : empati, ESP,
6
Fenomena parapsikologi
7
Penghayatan kesatuan universal
8
Penunggalan (?), penghayatan simultasn semua dimensi

Tiap tingkat dari bagan diatas menunjukkan tingkat fungsi dan tingkat kesadaran manusia. Lingkaran 1,2 dan 3 berturut-turut mewakili aspek fisikal, aspek emosional dan aspek intelektual dari kekuatan batin individu. Lingkaran 4 menggambarkakn pengintegrasian dari lingkaran 1, 2, dan 3 yang memungkinkan individu berfungsi secara harmonis pada tingkat pribadi. Keempat lingkaran ini termasuk dalam kawasan personal manusia.
Tingkatan berikutnya termasuk dalam kategori wilayah transpersonal manusia. Lingkaran 5 mewakili aspek intuisi. Pada aspek ini seseorang mulai samar-samar menyadari bahwa ia bisa mempersepsi tanpa perantara panca indera (extra sensory perception). Lingkaran 6 mewakili aspek energi psikis (kekuatan bathiniah) di mana individu secara jelas menghayati dirinya sebagai telah mentransendir/melewati kesadaran sensoris dan pada saat yang sama menyadari pengintegrasian dirinya dengan medan-medan energi yang lebih besar. Fenomena-fenomena para psikologi dapat dialami pada tingkat kesadaran ini. Lingkaran 7 mewakili bentuk penghayatan paling tinggi-penyatuan mistis atau pencerahan, di mana diri seseorang mentransendir dualitas dan menyatu dengan segala yang ada. Melewati ke tujuh tingkat yang disebutkan itu, dikatakan ada lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua tingkat dihayati secara simultan.
Konsep dari McWater ini dapat menjelaskan bagaimana seseorang mencapai kualitas diri melalui metode tafakur. Ketika seseorang berada pada fase pertama dalam bertafakur berarti dia berada pada dunia fisik yaitu pengetahuan yang didapat dari fungsi indera. Sebuah kejadian akan dipersepsi secara empiris yang langsung melalui pendengaran, penglihatan atau alat indera lainnya, atau secara tidak langsung seperti pada fenomena imajinasi, pengetahuan rasional yang abstrak, yang sebagian pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi.
Jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang inderawi menuju rasa kekaguman (tadlawuk) dimana pada tahap ini adalah tahap bergejolaknya perasaan, di sini kita melihat bahwa tahap ini sesuai dengan tahap kedua dari McWater yaitu emosional. Pada tahap selanjutnya, dengan bertafakur aktivitas kognitif seseorang mulai dilibatkan, disinilah tafakur sangat berperanan dalam proses pengintegrasian ketiga komponen tadi yaitu fisik, emosi dan intelektual.
Kemudian jika hasil pengintegrasian seseorang ini ditransendensikan kepada Allah maka kualitas seseorang tadi akan meningkat dari personal menuju transpersonal. Badri (1989) mencontohkan seseorang yang sudah pada tahap transpersonal ini “perasaan kagum manusia terhadap keindahan dan keagungan penciptaan serta perasaan kecil dan hina di tengah malam, yang ia saksikan merupakan fitrah yang sudah diberikan Allah kepada manusia untuk dapat melihat semua yang ada di langit dan di bumi sehingga ia dapat menemukan sang pencipta, merasakan khusuk terhadap-Nya, dan dapat menyembah-Nya, baik karena takut atau karena cinta”.
Dari ungkapan tersebut dapat kita lihat bahwa seseorang yang mengakui bahwa keindahan itu adalah ciptaan Allah maka berarti dia sudah memasuki dunia transpersonal. Keberadaan Allah bukan lagi kerja kognitif tapi keyakinan atau intiutif, sehingga dengan keyakinan yang penuh akan menimbulkan penghayatan yang universal seperti mampu khusuk ketika beribadah, rasa cinta yang menggelora, hal ini seperti yang dirasakan Al-Halaj ketika cinta menggelora mengakibatkan dia merasa menyatu dengan Tuhan sehingga Al-Halaj mengatakan bahwa Tuhan itu saya dan Saya adalah Tuhan.

Penutup
Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ibadah tafakur yang merupakan ibadah kognitif mampu meningkatkan kualitas diri bila ditransendenkan kepada Allah. Kemampuan mentransendenkan diri kepada Allah ini lah yang merupakan kunci terlampauinya wilayah personal menuju transpersonal sehingga potensi-potensi batiniah dapat diperoleh dan dimanfaatkan.


Daftar Pustaka

An-Najar. 2001. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf (terjemahan). Jakarta : Pustaka Azzam

Badri, Malik. 1989. Tafakur : Perspektif Psikologi Islami (terjemahan). Bandung : Rosdakarya

Hamdani. 1989. Wihdah Asy Syuhud sebagai Esesnsi Ibadah. (Kumpulan Artikel). Tidak diterbitkan

Noesjirwan, joesoef. 2000. Konsep Manusia Menurut Psikologi Transpersonal (dalam Metodologi Psikologi Islami). Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Zohar, Danah., Marshal, Ian. 2000. SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan (terjemahan). Bandung : mizan